Iklan

ABISASTRA PHOTOGRAPHY The Art of Photography

Jumat, 29 Januari 2010

Artikel Akademik UNMA

Penataan Kelembagaan dan Desentralisasi Pendidikan

Prof. DR.H.A. Yunus,SH,M.Si. 
1) Penataan Kelembagaan dan Desentralisasi Pendidikan Dasar 
Dalam upaya menata kembali kelembagaan dan desentralisasi pendidikan dasar, sedikitnya ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yakni tentang kelembagaan institusi yang merupakan hambatan bagi peningkatan mutu Wajib Belajar Pendidikan Dasar, Pelajaran dari negara-negara lain, dan Usaha mengatasi kelemahan-kelemahan institusi
a. Kelemahan Institusi Merupakan Hambatan dalam Mutu Wajib Belajar Pendidikan Dasar
      Kelemahan institutional yang selama ini dirasakan sebagai penghambat potensial alam penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia meliputi empat hal, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Keempat hal tersebut adalah (a) sistem organisasi yang kompleks pada jenjang pendidikan dasar, (b) manajemen yang terlalu sentralistik pada jenjang SLTP, (c) terpecah belah dan akakunya proses pembiayaan pada jenjang pendidikan dasar dan SLTP, dan (d) manajemen yang tidak efektif pada sekolah.
      Secara singkat, penjelasan dari keempat hambatan institusional tersebut adalah sebagai berikut :
      Pertama, kompleksnya pengorganisasian pendidikan dasar, sedikitnya ada dua peran yang sama kuat, yakni : Depdiknas yang bertanggung jawab tentang materi teknis pendidikan dan mutu teknis yang meliputi kurikulum, kualifikasi dan sertifikasi guru, testing, evaluasi buku teks dan kelayakan bahan ajar. Dan Depdagri yang bertanggung jawab menangani hal-hal yang berkenaan dengan ketenagaan, material, dan sumber daya lainnya (biasa disebut 3 m).
     
Disamping itu masih ditambah dengan adanya peranan pihak lain, khususnya bagi lembaga pendidikan keagamaan, yakni Departemen Agama yang bertanggungjawab secara keseluruhan terhadap sekolah negeri dan swasta. Dualisme pengelolaan pendidikan ini berakibat fatal karena membuat rancunya pembagian tanggungjawab dan peranan manajerial, keterlambatan dan terpilah-pilah perencanaan dan peranan manajerial, serta perebutan kewenangan atas guru di antara kedua lembaga tersebut. Praktek pegnelolaan yang memisahkan fungsi tekik edukatif dan fungsi administratif serta sumber daya seperti di atas membuat pengelolaan menjadi efisien, paling tidak dalam empat hal berikut ini :
a) Pengeluaran biaya untuk peningkatan mutu pendidikan menjadi terabaikan karena berada di luar lingkup kewenangan dari kedua departemen untuk mencairkan sumber dananya.
b) Peningkatan mutu menjadi terhambat karena perlengkapan yang disediakan oleh kantor dinas sering tidak sesuai dnegan kebutuhan atau permintan sekolah. Kalaupun ada subsidi dari pemerintah, misalnya BOP sering mengalami relokasi di tingkat dinas terutama untuk menutupi kekurangan anggaran dinas.
c) Karir guru sering tidak menentu, karena promosi dari guru SD untuk menjadi guru SLTP harus melibatkan dua Departemen. Selain itu promosi dan pemindahan guru atau kepala SD sering diputuskan secara sepihak oleh dinas tanpa mengacu kepada penilaian yagn dibuat oleh Depdiknas.
d) Dualisme pengadministrasian tersebut pada akhirnya tidak memberikan iklim yang kondusif untuk dilakukannya koordinasi menghambat koordinasi kebijakan, perencanaan dan implementasi dalam mencapai tujuan program wajib belajar pendidikan dasar.
 
      Kedua, manajemen yang sentralistik pada tingkat SLTP. Meskipun tanggung jawab pengelolaan SLTP berada sepenuhnya pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, praktek yang sangat sentralistik atau atau program pembiayaan dan perencanaan investasi dirasakan menghambat terhadap upaya pencapaian wajib belajar pendidikan dasar, karena :
a) Sulitnya untuk mewujudkan cara kerja yang efisien
b) Sulitnya perluasan kesempatan belajar
c) Terhambat program, karena tuntutan wajib belajar bagi keluarga kurnag mampu tidak terpenuhi
d) Kurang efisiennya dana pemerintah dalam menjangkau keluarga yang kurang mampu.
e) Subsidi untuk sekolah-sekolah swasta tidak efektif.

      Ketiga, praktek penganggaran yang terpecah-belah dan kaku. Disamping sistem organisasinya yang kompleks, komponen ini menambah rumitnya pengelolaan pendidikan dasar. Anggaran pembangunan yagn biasa disebut DIP disiapkan oleh tiga unit, yaitu Bappenas, Depdikdas, dan Depdagri. Malahan Depag memiliki anggaran pendidikan tersendiri, karena memang memiliki tanggungjawab terhadap pengelolaan sekolah mulai dari MI, MTs, MA, dan Perguruan Tinggi.
      Dalam prakteknya masing-masing anggaran mempunyai aturannya sendiri sehingga yang terjadi antara lain perencanaan, kaji ulang, dan persetujuan yang bisa memakan waktu setahun dan tidak ada fleksibilitas dalam peng pengalihan dana dari satu kategori ke kategori lainnya. Sisa anggaran yang satu tidak dapat digunakan untuk kepentingan anggaran yang lain. Disamping itu, informasi anggaran pun tersebar pada lima departemen atau instansi, yakni Departemen Keuangan, Bappenas, Depdiknas, Depdagri dan Depag. Yang lebih kompleks lagi anggaran untuk Sekolah Dasar (SD), sedikitnya ada empat tingkatan pengadministrasian, yakni di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten dan kecamatan.
      Praktek pengelolaan sistem pengangaran seperti yang digambarkan di atas, memiliki dampak negatif yagn sulit dihindari, antara lain tidak ada tanggungjawab yang jelas antarunit, tidak ada evaluasi secara reguler terhadap kebutuhan riil yang diperlukan, dan tidak ada jaminan bahwa dana dialokasikan dengan benar-benar berasaskan pemerataan.
      Keempat, manajemen pada tingkat sekolah yang tidak efektif. Yagn dimaksud dengan sekolah adalah institusi yang memegang peranan kunci dalam menentukan mutu pendidikan dasar. Dalam hal ini, Kepala Sekolah perlu memiliki kemampuan sebagai berikut :
a) Menjabarkan sumber daya yang ada guna menyediakan dukungan yang memadai bagi guru, bahan pengajaran, dan pemeliharaan fasilitas yagn baik.
b) Memberikan waktu yang cukup guna mengelola dan mengkoordinasikan proses interuksional
c) Berkomunikasi secara teratur dengan staf, orang tua, siswa dan masyarakat terkait.
      Dalam kenyataannya, di Indonesia Kepala Sekolah memiliki otonomi yang sangat terbatas dalam emgnelola sumber daya dan manajemen sekolah. Pada aspek yang lain, Kepala Sekolah tidak dilengkapi dengan kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang memadai, karena selain hanya dibekali beberapa hari pelatihan, sistem rekrutmen pun lebih didasarkan atas urutan jenjang kepangkatan dan bersifat administratif, tidak ada uji kelayakan berdasarkan kompetensi. Padahal, Kepala Sekolah yagn lemah akan gagal dalam mencari dukungan dari masyarakat, sehingga bepengaruh terhadap lemahnya upaya mencapai tujuan pendidikan. Dalam sistem desentralisasi, kepemimpinan Kepala Sekolah yang kuat sangat dibutuhkan.
         
b. Pelajaran dari negara-negara lain
      Desentaralisasi dalam pengelolaan pendidikan telah banyak digunakan di negara-negara lain. Dengan berbagai alasan politi, pendidikan, administrasi, dan keuangan. Walaupun dalam kenyataannya desentralisasi bukan satu-satunya jalan yang terbaik untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi.
      Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa langkah tersebut perlu diambil oleh pemerintah yang berkaitan untuk meningkatkan kondisi belajar mengajar. Di negara-negara yang telah menggunakan sistem ini, pemerintah pusat memegang kendali dalam tiga aspek, yaitu :
a) Memelihara kesatuan bangsa, misalnya melalui desain kurikulum secara nasional.
b) Menggerakkan persamaan dan pemerataan dalam pendidikan antardaerah, kelompok, status sosial, atau antara laki-laki dan perempuan
c) Menetapkan standarisasi pendidikan, meliputi sistem evaluasi dan tes.
      Selain dari tiga hal tersebut, sebagian besar didesentralisasikan pada tingkat yang lebih rendah (misalnya sekolah), termasuk di dalamnya rekrutmen pegawai, sistem penggajian, penetapan guru, pemetaan lokasi sekolah dan pemeliharaan infrastruktur.
     
c. Usaha Mengatasi Kelemahan Institusional
      Dalam usaha mengatasi kelemahan institusional, sedikitnya ada lima aspek yang dapat dipertimbangkan untuk di tata, yakni pemberdayaan lokal, menetapkan kembali tanggungjawab, pembangunan kemampuan kelembagaan memberikan otonomi yang lebih besar, dan sistem pendanaan yagn menjamin pemerataan dan efisiensi.
      Pertama, pada tahun 1996, pemberdayaan lokal telah dimulai dengan mengalihkan proses persiapan dan implementasi Program SLTP ke Kantor Wilayah. Walaupun masih bersifat uji coba dan lebih tepat disebut dekonsentrasi dari pada desentralisasi. Dalam periode ini, Departemen Pendidikan Nasional (Pemerintah pusat) mengalihkan proses persiapan dan implementasi beberapa program untuk SLTP ke tingkat Kantor Wilayah.
      Pada tahun 1997, memberikan tanggung jawab kepada Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten/Kota) untuk mensuksesskan program wajib belajar. Pelaksanaan kebijakan ini baru sebatas uji coba di Provinsi Jawa Barat
      Kedua, menetapkan kembali tanggung jawab atas perencanaan jangka panjang Dati II, sebagai titik berat pengelolaan merupakan rencana jangka panjang desentralisasi. Rencana jangka panjang ini memiliki ciri bahwa penetapan tanggung jawab tingkat sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sama dengan tingkat Sekolah Dasar (SD), sehingga struktur insitutis pendas menjadi sederhana dan selaras.
      Ketiga, pembangunan kemampuan kelembagaan berkaitan dengan perubahan-perubahan yang mendasar yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Kaena memerlukan konsensus antarberbagai pelaku dan pengembangan kapasitas lokal. Sementara jumlah personil yang memiliki keahlian di bidangnya belum cukup tersedia di Daerah Tingkat II.
      Maka untuk keperluan hal tersebut dilakukan usaha melalui beberapa alternatif yang mungkin dapat dipilih. Alternatif pertama, untuk sementara staf pusat yang dianggap mampu menjalankan tugas dapat diperbantukan untuk fungsi tersebut. Alternatif lainnya, Kantor Wilayah dan Kantor Departemen dapat merekrut staf lokal yang memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam program pembantuan tenaga. Sementara pemerintah lokal dapat melakukan upaya jangka panjang untuk meningkatkan kemampuan staf mereka sendiri, misalnya dengan cara mengadakan pendidikan dan pelatihan
      Keempat, memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dengan manajemen sekolah yang bertanggungjawab. Otonomi yang lebih besar tersebut harus diberikan kepada Kepala Sekolah dalam pemanfaatan sumber daya dan pengembangan strategi berbasis sekolah sesuai dengan kondisi setempat.
      Namun demikian, pemberian otonomi yang lebih besar harus dibarengi dengan upaya-upaya melalui pemilihan kepala sekolah yang memiliki keterampilan dan karakteristik yang diperlukan untuk sekolah yang bernuansa otonom; memberikan penghargaan kepada Kepala Sekolah yang baik, memberhentikan Kepala Sekolah yang kurang memiliki kemampuan, dan mengembangkan keterampilan manajemen Kepala Sekolah. 
      Kelima, sistem pendanaan yang menjamin pemerataan dan efisiensi. Kiranya agak sulit untuk mencapai tujuan yang berganda hanya melalui satu mekanisme pendanaan saja. Maka menggunakan tiga mekanisme pendanaan yang berbeda memungkinkan pemerintah untuk bergerak semakin mendekati tujuannya. Ketiga mekanisme pendanaan tersebut adalah sebagai berikut :
a) Menggunakan dana yang bersumber dari sumbangan orang tua siswa melalui BP3 (matching grants). Cara pemberian dana ini berdasarkan atas kemampuan masyarakat untuk peningkatan program pemerataan
b) Bantuan dana berdasarkan pengajuan proposal (performance-based grant) cara ini pemberian dana melalui pengajuan proposal oleh kabupaten untuk pendidikan di wilayahnya. Apabila proposal tersebut disetujui, maka kabupaten yang bersangkutan akan memperoleh dana bantuan untuk suatu paket, misalnya paket lima tahun, yang dievaluasi secara ketat setiap tahunnya
c) Bantuan dana berupa unsresticted grant ke kabupaten berdasarkan jumlah siswa. Cara ini adalah sistem pemberian bantuan berkaitan dengan dana yang tidak dibatasi yang ditentukan berdasarkan jumlah siswa. Dana ini berguna untuk mengatasi berbagai masalah yang selama ini timbul dalam menyalurkan laporan.   
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar