Aku Ingin Bercerita Padamu, Nak, Tentang Soedjatmoko

Aku Ingin Bercerita Padamu, Nak, Tentang Soedjatmoko
Pada awal tahun 1988 ada seorang putra Indonesia yang dipromosikan sebagai Dirjen UNESCO, sebuah badan PBB yang mengurusi bidang pendidikan, Ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemberitaan seputar pencalonannya banyak diulas media massa, walaupun akhirnya kehormatan itu diperoleh kandidat lain yang berasal dari Afrika. Siapakah putra Indonesia itu, Nak? Dialah Soedjatmoko. Aku ingin sekali bercerita tentang Soedjatmoko padamu, Nak. Bukan hanya karena tanggal lahir tokoh ini hanya selang sehari dengan ayahmu,-dia 10 Januari, sedang aku sering kau mengirim kertas kecil ulang tahun pada tanggal 11 Januari-, tetapi karena memang hidupnya bagiku sangat mengesankan. Aku sabar menunggu saat itu tiba, hinggapun menjadikannya sebagai draft skripsi ketika ayahmu ini mengambil S1 di jurusan Sejarah IKIP Jakarta tahun 1991.
Soedjatmoko, seterusnya Koko saja,dilahirkan 10 Januari 1922 di Sawahlunto, Sumatra Barat, anak kedua dari Mohammad Saleh Mangundiningrat dan ibu Isnadikin Tjitrokusumo. Ayahnya lulusan Sekolah Dokter Jawa, STOVIA, dan bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Sawahlunto. Keluarga ini banyak berpindah tempat berkaitan dengan pekerjaan ayahnya yang dokter. Tahun 1924 mereka pindah ke Kediri. Dari sini mereka pindah ke Belanda karena ayahnya mendapat beasiswa untuk study ahli bedah dan mengambil kandidat doktor. Di Belanda mereka tinggal di Admiral de Ruyterweg, dan Koko kecil masuk TK hingga menempuh pendidikan dasar 2 tahun karena pada tahun 1929 keluarga itu kembali ke tanah air. Ayahnya ditempatkan di Menado. Koko yang pandai ini ditawari oleh pihak sekolah yang baru untuk loncat kelas, tetapi hal itu ditolak oleh ayahnya yang memberikan pertimbangan psikologis bagi perkembangan jiwanya kelak di kelas yang tidak sesuai dengan usianya. Di sekolah ini Koko sangat senang denganlagu "Indonesia Raja". Tetapi lagu yang dikumandangkan pertama kali di rapat Soempah Pemoeda itu hanya boleh diperdengarkan dan dinyanyikan di rumah saja, "Kalau di luar tidak boleh". Larangan itu dikeluarkan oleh ibunya. Lagu yang sungguh-sungguh menggugah kesadaran politik itu sangat berkesan bagi Koko, di tengah dua iklim yang dirasakannya berbeda antara keadaan negeri Belanda yang menempa masa kecilnya dengan Indonesia sebagai negeri yang berada dalam cengkeraman kolonial. ( Kau belum mengantuk, Nak? Bagus, kau tahu kapan Sumpah Pemuda diadakan? Bagus, 1928. Kau ingat bunyi naskah yang melegenda itu? Ucapkan ini, Nak dengan sungguh-sungguh, "Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia! Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia! Kami putra-putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia!". Dan Nak, pada saat itu seorang tampan, Wage Rudolf Supratman, maju membawa biola dan mengiringi tembang paling dahsyat yang merindingkan bulu roma,"Indonesia Raja". Kau bisa menyanyikannya, Nak? Nyanyikanlah dengan sepenuh hati, sampai kau benar-benar "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.....)
*) Penulis adalah sastrawan dan budayawan Sunda kini tinggal di Rajagaluh
 

Komentar

Postingan Populer