Kisah dari Kuwait

 Nanang Agung Jati Nugroho 

Anak Kolong yang Kini Kerja di Kilang 





Tahun 1992 Nanang Agung Djati Nugroho masuk sebagai mahasiswa Jurusan Geologi Universitas Padjadjaran. Memasuki masa perkulian ia pergi kampus jarang menggunakan kendaraan sendiri. Ia lebih senang naik bis kota DAMRI dan bergelayut di pintu karena ia tidak suka berdesak-desakan dengan temannya di dalam bis. Katanya, waktu kuliah ia belum punya SIM. Motor VESPA dan motor GL Pro kesayangannya tidak pernah dipakainya. Ia manut sama ayahnya yang seorang prajurit TNI AU di Lanud Sulaiman, Peltu Sugiarto. Kini ayahandanya sudah pensiun.
            Sosok Nanang adalah figur sederhana. Meskipun anak kolong (sebutan bagi anak tentara), Nanang menunjukkan kehidupan yang sederhana. Sewaktu bersekolah di SMP pun, ia pergi ke sekolah bersama teman-temannya menggunakan sepeda. Maklum, waktu itu ia tinggal bersama kedua orangtuanya di Lanud Sulaeman. Ketika di berada di sekolah, ia pernah menyaksikan ayahandanya terjun dari ketinggian 3000 kaki dengan parasut tepat di atas sekolahnya. Sekolah Nanang memang persis di depan kompleks Lanud Sulaeman. Kesederhanaan Nanang sejak kecil terbawa hingga ia menamatkan bangku perkulian. Nanang lulus dari UNPAD sebagai Sarjana  Geologi.
            Ia sama sekali tidak menyangka, hidupnya bakal jauh berubah. Kini ia sudah berada di Kuwait sebagai tenaga ahli drilling di sana. Ia memboyong istrinya, Desrina yang seorang sarjana lulusan UGM. Anaknya pun tinggal bersamanya di Kuwait. Ia bekerja di pengeboran minyak sebenarnya tidak disengaja karena ia sebenarnya melamar ke perusahaan minyak yang diidamkannya di sana. Sayang ia tidak diterima di sana. Namun Tuhan berkehendak lain, saat itu tanpa sengaja ia bertemu dengan orang Kuwait yang menawarinya pekerjaan lain dalam bidang yang bedanya tidak jauh, drilling. Nanang pun tidak menyia-siakan kesempatan emas itu. Apalagi ia terkilas pada kehidupannya setelah lulus kuliah yang sempat bekerja di sebuah perusahaan bidang sales marketing. “Saya pernah jadi sales jualan perabotan rumah tangga…kayak kompor ha..ha…! “Ujarnya mengenang. Makanya ketika mendapatkan penawaran kerja tersebut ia langsung menerimanya.
            Nanang kini tinggal di Alhaiza Complex Fahaheel Kuwait. Pada saat Kuwait memperingati Hari Kemerdekaannya yang jatuh pada akhir Februari, Nanang menyempatkan diri menikmati kehidupan di negeri minyak yang pernah diinvasi oleh Irak tersebut. Namun ia tidak mau melupakan kehidupannya sebelum berangkat ke Kuwait. “Waktu itu, saya harus berjuang menghadapi tekanan krisis moneter. Saya bekerja apa saja. Tidak ada masalah bagi saya. Di tengah tekanan krisis moneter saya waktu itu sempat bekerja di perusahaan asuransi jiwa  dan pada tahun 1999 hijrah ke Banten dan mencoba berkarier di BPSDA Banten sebagai consultant pengelolaan sumberdaya air !” Ujarnya berkisah.
            Sebelum berangkat ke Kuwait pun, ia sempat bekerja di bidang minyak bumi dan gas yaitu di Elnusa. Di Elnusa ia bekerja sebagai konsultan namun pekerjaannya itu hanya bertahan satu tahun. Pengalamannya itulah yang menjadi dasar karirnya di bidang perminyakan semakin mantap dan ia tak ragu untuk melamar ke Kuwait saat itu.
            Bersama istrinya Desrina, ia kini sudah hidup tenang dengan penghasilan yang bias dibilang lebih dari cukup. Setiap waktu lengang ia juga sering membawa anak semata wayangnya Muhammad Rayhan  menikmati keindahan Kuwait.
            Kisah Nanang Nugroho memang  patut disimak sebagai symbol perjuangan hidup seorang sarjana yang mampu bertahan di tengah krisis ekonomi hingga mewujudkan diri sebagai seorang drilling engineer di  Kuwait Oil Company.
            Rasa kangennya terhadap orangtua ia salurkan lewat hubungan telepon dan ia merasa terhibur oleh keberadaan 35 orang WNI yang sama-sama bekerja di sana. Tampaknya mereka sangat dekat seperti keluarga sendiri dan hal itu diakui oleh Nanang.*** (ES)


Komentar

  1. Saya sangat tertarik sekali membaca kisah Bapak Nanang Agung Djati Nugroho, sangat mengispirasi, kebetulan saya mempunyai teman dan relatives yang besar sebagai anak tamtama atau sebutan bekennya "kolong" namun kebanyakan dari mereka, "maaf" kurang beruntung, kisah Pak Nanang akan saya sebarkan ke taman-teman saya tersebut, semoga menjadi inpirasi bagi mereka, kalau anak "kolong" juga juga bisa maju dan berhasil. Tidak ada yang tidak mungkin, kalau kita berusaha. ARH

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer