H.M. Athoillah Menulis tentang Kiblat
KIBLAT
Drs.H.M. Athoillah,M.Ag |
Pada saat melakukan shalat, menghadap kiblat (mustaqbil qiblat) adalah salahsatu syarat sah shalat (Sayyid al-Bakri bin Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathi, `ianat al-thalibin, hlm. 757-764). Apabila tidak menghadap kiblat, maka shalatnya tidak sah.
Umat Islam di Indonesia pada umumnya meyakini kiblat itu berada di sebelah barat sehingga identik dengan arah barat tempat terbenamnya matahari. Akibatnya, bagi mereka shalat itu haruslah menghadap ke Barat di mana pun mereka berada . Sehingga masalah kiblat menjadi masalah yang mudah yang dapat diketahui dengan memahami arah terbit dan terbenamnya matahari di daerah tersebut.
Memang hal di atas tidak menjadi masalah apabila wilayahnya masih berada di Indonesia. Namun persoalannya sangat menarik jika mereka berada di luar wilayah Indonesia seperti yang dialami muslimin Suriname Amerika Latin yang berasal dari pulau Jawa. Mereka tetap menghadap ke Barat ketika melaksanakan shalat, padahal semestinya harus menghadap ke Timur (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Arah Kiblat, hlm. 48).
Perubahan arah kiblat sering menuai reaksi keras dari masyarakat umum misalnya, ketika KH. Ahmad Dahlan memelopori perubahan kiblat di Yogyakarta timbullah reaksi keras menentangnya sampai-sampai suraunya diratakan dengan tanah. Menurut perhitungan ilmu falak yang dikuasainya, arah kiblat yang benar di Yogyakarta adalah menghadap ke barat laut dan bukan ke barat (M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya, hlm. 54-59). Demikian juga pada akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010, masyarakat kembali resah, karena berbagai surat kabar memberitahukan bahwa 80% masjid-masjid di Indonesia, kiblatnya salah. Keresahan ini dipicu oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli astronomi bahwa masji di Indonesia, kiblatnya tidak persis menghadap ka`bah.
Keberadaan ilmu-ilmu terapan seperti ilmu falak (astronomi), ilmu bumi (geografi), ilmu ukur (geometri), dan alat-alat penentu arah kiblat lainnya adalah membantu untuk mengetahui arah kiblat yang benar sehingga ibadah shalanya sesuai dengan tuntutan syara, sesuai dengan maksud dalil-dalil al-Quran dan hadits. Oleh karena itu, ilmu pembantu tersebut sangatlah penting dan menjadi fardu kifayah untuk dipelajari.
Bila pada masa Rasulullah SAW kewajiban menghadap kiblat yakni Ka`bah itu tidak banyak menimbulkan masalah karena umat Islam masih relative sedikit dan kebanyakan tinggal di sekitar Mekkah sehingga mereka dapat melihat bangunan Ka`bah (`ain al-Kabah). Berbeda dengan keadaan setelah Nabi Muhammad SAW sampai saat sekarang dan yang akan datang., kaum muslimin sudah berkembang dan menetap di berbagai negara yang jauh dari Mekkah (ka`bah) termasuk Indonesia. Apakah kewajiban menghadap kiblat dalam shalat itu menghadap bangunan kabah(`ain al Kabah) atau cukup dengan menghadap arah Ka`bah (jihad al-Ka`bah). Diharapkan tulisan ini dapat menjawab persoalan tersebut dan mudah-mudahan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.***
*) Penulis adalah Kepala Kementrian Agama Kabupaten Majalengka. Kandidat Doktor Universitas Islam Negeri Sunan Gunungdjati Bandung
Komentar
Posting Komentar