Iklan

ABISASTRA PHOTOGRAPHY The Art of Photography

Selasa, 09 November 2010

Bencana Merapi dalam Uga Wangsit Siliwangi dan Ramalan Sabdo Palon

Bismillaahirrahmannirrahiim
Tom Finaldin

Teman-teman semuanya, sebagaimana niatan saya untuk membuat tafsiran bagi setiap paragraf dalam Uga Wangsit Siliwangi, saat ini adalah waktu yang sangat tepat  untuk menulisnya, kemudian berbagi dengan teman-teman semua. Saya berharap apa yang saya lakukan ini memiliki nilai positif agar kita lebih mawas diri menjalani setiap langkah dalam hidup ini. Meskipun demikian, bukan saya merasa sok pintar atau sok ngajarin orang, melainkan saya merasa tertarik dengan wasiat leluhur di nusantara ini dan ada baiknya jika berbagi dengan teman-teman semuanya.


            Sebenarnya, berbagai hal, termasuk bencana-bencana yang saat ini tengah berlangsung, leluhur kita sudah mewanti-wantinya sejak ratusan tahun silam. Mereka sudah menggambarkannya untuk kita. Akan tetapi, sayangnya, kita, kebanyakan, terutama saya sendiri, sempat kurang atau bahkan tidak menghormati wasiat-wasiat leluhur tersebut. Hal itu disebabkan kita sudah terlalu lama berada dalam kehidupan yang terlalu tinggi menilai sesuatu yang bersifat materi, duniawi. Lingkungan sudah membentuk setiap pribadi sebagai sosok yang disiapkan untuk mencari materi, kekayaan, kekuasaan dengan mengesampingkan hal-hal yang bernilai spiritual. Kita sangat bangga jika sudah bisa mengumpulkan materi yang banyak dan merasa lebih hebat jika menjadi orang nomor satu paling banyak hartanya di antara orang-orang dekat, apalagi jika mampu menjadi paling kaya di lingkungan atau komunitas tertentu. Padahal, Allah swt sama sekali tidak pernah menilai kita dari banyak-sedikitnya materi yang kita punyai. Allah swt hanya menilai tingkat ketakwaan kita kepada-Nya, itu saja, tidak ada yang lain. Akibatnya, kita menjadi kurang waspada terhadap fenomena-fenomena alam dan sama sekali kurang atau mungkin tidak siap untuk menghadapinya.

Letusan Gunung Merapi
           Kita bahkan sering menganggap bahwa wasiat-wasiat leluhur itu merupakan produk yang kolot, kuno, terbelakang, dan tidak ilmiah. Padahal, sesungguhnya, memiliki nilai ilmiah yang tinggi jika dipelajari secara lebih serius. Di samping itu, para leluhur kita itu memberikan wasiat tersebut atas dasar tanggung jawabnya terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian kepada Tuhan. Di dalam wasiat tersebut terdapat nuansa cinta, kasih sayang, tanggung jawab, perhatian, kecerdasan, pengabdian, kemuliaan, keluhuran, kesucian, serta tentunya keperkasaan.

            Bencana Merapi dan bencana-bencana lain jika kita mengikuti wasiat leluhur tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang sudah kelewat batas dari nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Alam dan kita sesungguhnya terhubung sangat erat. Karena manusia melakukan banyak keburukan, terjadilah ketimpangan dalam hubungan tersebut. Kita mungkin tidak merasakannya, tetapi sebetulnya disharmoni  tersebut telah dan terus terjadi. Kita dan alam sekitar itu terhubung karena kita semuanya berasal dari Zat Yang Satu, Allah swt.

             Berikut ini saya kutipkan satu paragraf dari Uga Wangsit Siliwangi. Saya kutip hanya satu paragraf karena keseluruhannya pernah saya tulis dalam catatan yang lalu.

            Dalam bahasa Sunda.

“Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui, tapi engké lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat. Urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa jaya, jaya deui sabab ngadeg ratu adil. Ratu adil nu sajati.”

            Dalam bahasa Indonesia.

“Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil yang sejati.”

Dalam paragraf tersebut, ada pernyataan bahwa Gunung Gede akan meletus. Ada dua pendapat mengenai hal ini. Yang dimaksud Gunung Gede itu bisa memang gunung yang bernama Gede, bisa pula gunung gede  dalam arti “gunung yang berukuran besar”. Dalam bahasa Sunda, gede itu artinya besar. Oleh sebab itu, ada dua penafsiran mengenai gunung tersebut.

            Jika memang yang dimaksud adalah gunung yang bernama Gede, lebih tepatnya Gunung Gede, kita akan menghadapi bencana yang lebih besar daripada Gunung Merapi. Hal itu disebabkan Prabu Siliwangi mengatakannya dengan pasti, sedangkan Merapi yang sudah meletus menakutkan saja sedikit pun tidak disingung-singgung. Artinya, peristiwa itu adalah sangat penting untuk diperhatikan. Berarti pula, Merapi itu hanya bagian kecil dari peristiwa yang akan datang dengan bencana yang lebih hebat lagi. Setelah Gunung Gede meletus, bakalan ada lagi tujuh gunung yang meletus. Dunia pun gempar dibuatnya. Itu adalah berita buruk. Kita kini tinggal menunggu kejadiannya dan sudah semestinya banyak mendekatkan diri kepada Allah swt.

            Akan tetapi, jika yang dimaksud adalah gunung yang berukuran besar, gunung tersebut bukanlah Gunung Gede, melainkan Gunung Merapi yang sekarang sedang sangat aktif. Dua pendapat mengenai gunung tersebut dapat dipahami dengan mudah karena yang namanya wangsit itu turun melalui lisan, bukan tulisan. Wangsit yang turun secara lisan itu, kemudian ditulis oleh para penerusnya. Para penyampai wangsit itu menulisnya dengan huruf awal kapital, Gunung Gede, bukan menulisnya gunung gede. Hal itu disebabkan dalam kalimat lisan, tidak jelas mana yang harus diberi kapital. Oleh sebab itu, wajar jika ada dua pendapat.

            Saya sendiri sangat berharap bahwa bukan Gunung Gede yang dimaksud, melainkan gunung gede atau gunung besar yang namanya Merapi. Dengan demikian, tinggal tujuh gunung lagi yang akan meletus meskipun menurut sumber resmi yang banyak dilansir media massa, ada 22 gunung berapi yang aktivitasnya mulai meningkat secara mencolok akhir-akhir ini.

            Yang membuat saya sedih adalah Prabu Siliwangi mengatakannya anggeus bitu, bukan enggeus bitu. Kalau enggeus bitu, artinya ‘sudah meletus’, sedangkan anggeus bitu, artinya ‘meletus secara tuntas’. Karena kata yang digunakannya adalah anggeus bitu, Merapi saat ini tampaknya belum anggeus bituna, ‘belum tuntas meletusnya’. Merapi masih terus memuntahkan laharnya. Tak seorang ahli di dunia pun tahu kapan berhentinya.

Hal itu merupakan pertanda dari Allah swt sendiri bahwa Dia mampu melakukan apa saja dari jalan mana saja tanpa bisa diduga sebelumnya oleh manusia, bahkan oleh malaikat sekalipun. Dia adalah Mahakuat yang mampu melumatkan apa saja dan siapa saja yang dikehendaki-Nya sendiri. Peristiwa itu akan menjadi pelajaran teramat berharga bagi orang-orang yang berpikir.

            Harapan saya pun disandarkan pada ramalan Sabdo Palon yang mengatakan bahwa perubahan zaman itu ditandai dengan meletusnya Gunung Merapi. Itu bisa berarti bahwa yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah memang gunung yang berukuran besar, namanya Gunung Merapi.

            Berikut saya kutipkan ramalan Sabdo Palon dalam bahasa Indonesia. Saya memang tidak menyertakan bahasa Jawa sebagai sumber aslinya karena cape ngetikna. Kalau Uga Wangsit Siliwangi  kan berbahasa Sunda, jadi saya tidak terlalu cape ngetiknya karena saya orang Sunda. Redaksi ramalan tersebut sengaja saya ubah sedikit agar lebih mudah dipahami dan tidak menimbulkan fitnah karena jika tidak hati-hati membacanya, bisa timbul kesalahpahaman atau fitnah yang sangat merugikan banyak orang.


Ramalan Sabdo Palon

Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong.

Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya, “Sabdo Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam, sebuah agama yang suci dan baik.”

Sabdo Palon menjawab kasar, “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang setanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun, Sang Prabu, kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun, saya akan mengajarkan budi pekerti lagi. Saya sebar ke seluruh tanah Jawa.

Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan! Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini, yaitu bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Saya sudah mulai menyebarkan lagi ajaran budi pekerti. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat diubah lagi.

Kelak akan datang waktunya yang paling sengsara di tanah Jawa ini, yaitu pada tahun Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai, sudah datang di tengah-tengah, tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

Bahaya yang mendatangi tersebar ke seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan, tidak mungkin disingkiri lagi sebab dunia ini ada ditangan-Nya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tani pun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayu pun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis, banyak maling. Siang hari banyak begal.

Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit, sorenya telah meninggal dunia.

Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat, persis lautan pasang.

Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besar pun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal, sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikit pun.

Gempa bumi tujuh kali sehari sehingga membuat susahnya manusia. Tanah pun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakit pun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.”

Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang tiba-tiba. Dirinya  tidak tampak lagi. Ia kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun, bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

            Demikianlah, Gunung Merapi sudah dikatakan sejak ratusan tahun silam akan meletus. Sayangnya, kita, terutama mereka yang sekarang berkuasa tidak memperhatikannya. Bahkan, sering mengolok-olok wasiat-wasiat para leluhur tersebut. Padahal, wasiat-wasiat itu sangat berguna bagi kita yang hidup saat ini. Memang benar kita harus hati-hati membacanya agar tidak terperosok dalam jurang fitnah.

            Oh ya, soal Sabdo Palon marah kepada Prabu Brawijaya karena sudah masuk Islam, sesungguhnya jika dicermati lagi kemarahan itu bukanlah atas dasar kebencian kepada Agama Islam. Sabdo Palon tidak sudi karena menurutnya, Prabu Brawijaya itu orang tolol. Dalam pandangannya, Prabu Brawijaya masuk Islam bukan atas dasar keyakinan pada kebenaran Islam, melainkan hanya ikut-ikutan dan kearab-araban. Di samping itu, Prabu Brawijaya masuk Islam dalam keadaan terdesak dan tersudut, kalah perang dibabat habis oleh puteranya sendiri, yaitu Raden Patah sehingga Majapahit hancur luluh lantak. Prabu Brawijaya pun kabur bersama Sabdo Palon. Ia akan balas menyerang anaknya sendiri itu dengan meminta bantuan kerajaan di Bali dan Cina. Sunan Kalijaga mengejarnya untuk mencari solusi dalam menghentikan keadaan kisruh itu. Solusi yang sangat tepat adalah Prabu Brawijaya harus masuk Islam. Sunan Kalijaga pun berhasil membuat Prabu Brawijaya masuk Islam. Hal tersebut sebagaimana yang dituturkan Sabdo Palon sendiri dalam serat Darmagandhul.

“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang Jawan (kehilangan Jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan. Tidak ada gunanya saya asuh. Saya malu kepada Bumi dan langit. Malu mengasuh orang tolol! Saya mau mencari asuhan yang memiliki akidah yang kuat. Tidak senang mengasuh Paduka. …”

Setelah itu, dalam keadaan heran dan bingung bercampur sedih karena Sabdo Palon Noyo Genggong raib entah ke mana secara tiba-tiba, Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Sunan Kalijaga, “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi. Jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabdo Palon di tanah Jawa membawa asuhannya!

Jadi, Banyuwangi adalah tempat berpisahnya Prabu Siliwangi dan Sunan Kalijaga dengan Sabdo Palon Noyo Genggong.

Dalam istilah pewayangan, terutama wayang kulit, hadirnya Sabdo Palon mengajarkan kembali budi pekerti yang ditandai dengan letusan menggelegar Gunung Merapi dikenal dengan istilah Semar ngejawantah.

Adapun Prabu Siliwangi mengatakannya sebagai tanda perubahan zaman. Jaman bakal ganti deui.

Demikian teman-teman. Mudah-mudahan tulisan saya ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Jika di antara teman-teman ada yang memberikan kritik atas tulisan ini, saya sangat senang. Mohon maaf jika ada pemahaman saya yang salah. Kritikan teman-teman akan menambah pengetahuan yang saya miliki. Saya berterima kasih untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar