Dasar Hukum Menghadap Kiblat
H.M. Athoilah |
Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah nya shalat yang di dasarkan pada nash Al-Qur`an dan Al-Hadits. dasar hukum menghadap kiblat dalam nash al-quran disebutkan, antara lain :
1. Q.S. al-Quran (2) : 142-145 :
"Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata : "Apakah yang memalingkan mereka ( umat islam ) dari kiblat (baitul maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" katakanlah: "Kepunyaan allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang di kehendaki-nya kejalan yang lurus". (al-baqarah;142)
"Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh allah; dan allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. sesungguhnya allah maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusia."(al-baqarah:143)
"Sesungguhnya kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. dan dimana saja kamu berada, palingkan lah mukamu ke arahnya. dan sesungguhnya orang-orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-kitab (taurat dan injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya; dan allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (al-baqarah:144)
"Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (yahudi dan nasrani) yang diberi ak-kitab (taurat dan injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikutu kiblatmu, dan kamupun tidfak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak mengiukuti kiblat sebahagian yang lain. dan sesunggunya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalo begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim." (al-baqarah:145)
Menurut Hasbi ash-shiddieqy (tapsir al-masjidi al-nur hlm.12-13), setelah menafsirkan "kiblat" pada ayat 144 al-quran surat al-baqarah dengan "arah kiblat". umat islam harus mengetahui poisisi bait al-haram dengan cara mempelajari ilmu bumi dan ilmu falak. dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari makin canggih di bidang ilmu falak (astronomi) maka mentukan arah kiblat bagi suatu tempat dibumi bukan merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.
2. Q.S. al-baqarah (2): 149 - 159 :
"Dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari tuhanmu. dan allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
dan darimana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram. dan dimana saja kamu (sekalian) barada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-ku (saja). dan kusempurnakan nikmat-ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk."
dalam surat al-baqarah ayat 149 dan 150 di atas, allah swt berfirman dengan mengungkapkan kata "fawalli wajhaka syathra al-masjid" sampai tiga kali, menurut ibnu abbas, hal itu adalah ta`kid. sementara imam fakhruddin al-razi ungkapan tersebut dosesuaikan dengan keadaan, ungkapan pertama ditujukan pada orang-orang yang menyaksikan ka`bah, ungkapan kedua ditujukan pada orang-orang yang berada diluar masjidil haram sedangkan ungkapan yang ketiga ditujukan untuk orang-orang dari negri-negri yang jauh. (fakhruddin al-razi,)
Adapun hadits-hadits nabi saw yang secara tegas memerintahkan menghadap kiblat dalam shalat adalah sebagai berikut:
1. hadits riwayat imam bukhari dan imam muslim
"dari abu hurairah r.a nabi saw bersabda; bila hendak shalat maka sempurnakan wudhu, lalu menghadap kekiblat kemudian
takbir."
2. hadits riwayat imam bukhari dan imam muslim
"dari anas bin malik r.a bahwa rasulullah saw sedang shalat menghadap bait al-maqdis, turunlah ayat"sungguh kami melihat mukamu menghadap ke langit (sering melihat kelangit berdoa agar turun wahu yang memerintah berpaling ke baitullah). sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkan lah mukamu ke arah masjid al-haram". kemudian ada orang dari bani salamah sedang melakukan ruku pada shalat fajar pada rakaat kedua. lalu nabi menyeru "ingatlah bahwa kiblat telah dirubah", lalu mereka berpaling kearah baitullah.
Pandangan ulama tentang menghadap kiblat
Para ulama sepakat bahwa kewajiban menghadap kiblat dalam shalat bagi orang yang melihat kabah adalah menghadap ke bangunan ka`bah (`ain al-kabah). ia wajib menghadap bangunan ka`bah dengan seyakin-yakinnya. (wahbah al-zuhaily, al-fiqhal- islamy wa adllatuh, hlm 757). karenanya, orang yang shalat dan ia melihat ka`bah, kemudian ia tidak menghadap ke bangunan ka`bah, maka shalatnya tidak sah.
Kesepakatan ulama di atas sesuai dengan hadits yang telah diriwayatkan dari nabi saw bahwa beliau mengerjakan shalat dengan menghadap ka`bah, sementara orang-orang yang berada di sekitarnya menghadap ka`bah dari berbagai arah. (imam nawawi, al-majmu juz 3,hlm. 193). nabi bersabda:
"shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat" (imam bukhari, shahih al-bukhari,juz1, hlm.155).
Di pihak lain , para ulama berbeda pendapat tentang orang yang shalat namun tidak melihat ka`bah. apakah kewajiban menghadap kiblat dalam shalat itu menghadap bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah) atau cukup dengan menghadap kearah ka`bah (`jihat al-ka`bah)?
jawaban masalah tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
Pertama, mayoritas ulama madzhab hanafi berependapat bahwa yang wajib bagi orang shalat namun tidak melihat ka`bah adalah menghadap arah ka`bah (`jihat al-ka`bah). sedangkan sebagian ulama hafi lainnya berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap bangunan ka`bah. (`ain al-ka`bah).
Imam ala al-din al-kasani al-hanafi dalam karyanya, bada`i al-shana`i fi tartib al-syar`i, menyatakan orang yang shalat tidak lepas dari dua kondisi; a) mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat atau, b) melakukan shalat tetapi tidak mampu untuk menghadap kiblat. apabila ia termasuk orang yang dapat melihat ka`bah , maka kiblatnya adlah bangunan ka`bah (ain al-ka`bah) tersebut, yaitu darimana saja ia melihatnya. sehingga jika ia melenceng dari bangunan ka`ba, tanpa menghadap kepada salah satu bangunan ka`bah, maka shalatnya tidak sah. hal ini berdasarkan firman allah swt "dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkan lah ajahmu ke arah ka`bah" (Q.S Al-Baqarah (2): 150).
jika ia tidak melihat ka`bah, maka ia wajib menghadap kearahnya (jihat al-ka`bah), yakni kepada dinding tempat shalat (mihrab)-nya yang dibangun dengan tanda-tanda yang menunjukan pada arah ka`bah.
pendapat ini bersarkan hujjah bahwa yang diwajibkan adalah menghadap kepada sesuatu yang mampu dilakukan (al-maqdur `alaih). adapun mengahadap kepada bangunan ka`bah melakukan sesuatu yang tidak dapat di lakukan (ghair al-maqdur `alaih). karenanya, tidak diwajibkan untuk menghadapnya. hal ini di sebabkan apabila bangunan ka`bah dalam kondisi ini menjadi kiblatnya berdasarkan ijtihad dan penelitian, maka hukum shalatnya berkisar antara sah dan batal. di satu sisi ia tetap menghadap ke bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah) dengan sangat seksama, maka shalatnya sah. namun, apabila ia tidak tepat kepada bengunan ka`bah, maka shalatya tidak sah, karena ia yakin bahwa ijtihadnya jelas-jelas salah (ala al-din al- kasani al- hanafi, bada`i al-shana`i fi tartib al-syara`i juz 1, hlm. 176-177)
sedangkan pendapat yang lain dalam madzhab hanafi diantaranya ibnu abdillah al-bashri mengungkapkan bahwa yang benar adalah menghadap kebangunan ka`bah (`ain al-ka`bah) dengan cara berijtihad dan menelitinya. lebih jauh pendapat kedua ini menegaskan harus adanya niat menghadap bangunan ka`bah adalah salah satu syarat sahnya shalat. pendapat mereka mengacu pada firman allah swt, Q.S. al-baqarah (2): 150.
ayat diatas di tapsirkan bahwa allah swt tidak merinci apakah orang yang shalat tersebut melihat ka`bah atau tidak melihatnya. disamping itu kewajiban menghadap masjidil haram (ka`bah) menunjukan kemulian bangunannya. pengertian ini hanya dapat dietrapkan pada bangunan secara fisik, bukan kepda arah letaknya.
terlepas dari dua pendapat di atas, dengan lebih jelas muhammad bin abdullah al-timirtasyi berpendapat bahwa bagi penduduk mekkah, kiblatnya adalah bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). sedangkan bagi penduduk diluar mekkah, kiblatnya arah ka`bah (jihat al-ka`bah). (muhammad bin abdillah al-timirtasyi, tanwir al-abshar, juz 1, glm. 108-109). dengan kata lain, bagi penduduk mekkah menghadap kiblatnya harus tepat kepada bangunan ka`bah (`ain ka`bah) dan penduduk yang berada diluar mekkah menghadap ke arah ka`bah (jihat al-ka`bah).
kedua, mayoritas ulam madzhab maliki perpenday bahwa yang wajib bagi orang yang tidak melihat ka`bah adalah menghadap kearah ka`bah (jihat al-ka`bah). sementara diantara merka ada juga yang berpendapat menghadap bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah).
imam ibnu rusyd, salah seorang tokoh madzhab maliki, menyatakan apabila menghadap ke bangunan ka`bah itu suatu kewajiban, tentu hal ini akan menyuilitkan. padahal allah swt telah berfirman:
"....dan dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan umtuk kamu suatu kesempitan dalam agama ini........," (Q.S. al-hajj (22): 78).
Sebab menghadap kebangunan fisik ka`bah (`ain al-ka`bah) hanya dapat diketahui dengan pengukuran dan tekhnologi dalam menentukannya. bagaimana mungkin hal ini dapat diketahui dengan beijtihad selain dengan cara tersebut. padahal umat islam tidak diperintahkan untuk berijtihad dalam masalah ini, dengan susah payah melakukan pengukuran tekhnik yang di dasarkan pada pengompasan yang menghasilkan perhitungan panjang dan lebar suatu negri. (ibnu rusyd, bidayah al-mujtahid wa nihayah al-muqtasyid, juz 1, hlm. 93).
Hal senada diungkapkan oleh ibnu al-arabi, beliau berpendapat bahwa kiblat orang yang tidak melihat ka`bah adalah arah ka`bah )jihat al-ka`bah). hal tersebut berdasarkan dalil-dalil dibawah ini:
a) menghadap ke arah ka`bah adalah taklif yang dapat dilaksanakan.
b) pernyataan itu (poin a) aadalah implementasi dari khitab allah swt yang tercantum dalam firman-nya "palingkanlah wajahmu ke
arah masjidil haram dan dimana saja kamu (sekalian ) berada" (QS. Al-Baqarah (2) : 144). yakni dibelah timur atau barat "maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya" (QS. AL-Baqarah (2) 144)
c) para ulama madzhab maliki memberikan hujjah dengan sahnya shaf yang memanjang (dalam shalat berjamaah), yang
dipastikan melebihi beberapa kali lipat dari lebar ka`bah (Imam al-Qurthubi, al-jami` li ahkam al-Qur`an).
Lain lagi dengan pendapat kedua tokoh madzhab maliki di atas, imam al-qurthubi menyebutkan bahwa para ulam berbeda pandangan, aoakah orang yang tidak melihat ka`bah diajibkan menghadap bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah) atau ke arahnya (jihat al-ka`bah)? diantara mereka ada yang memilih menghadap ke bangunan ka`bah. dari argumentasi ini, al-qurthubi lebih sepakat dengan ulam yang memilih kiblat shalat bagi oramg yang tidak melihat ka`bah adalah menghadap bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah).
Ketiga, sebagian ulam madzhab syafi`i berpendapat yang wajib adalah menghadap ke bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap ke arah ka`bah (`jihat al-ka`bah).
Imam al-syirazi menyatakan jika sama sekali dia tidak memiliki petunjuk apapun, maka dilihat masalahnya. jika ia termasuk orang yang mengetahui tanda-tanda atau petunjuk kiblat, maka meskipun dia tidak dapat melihat ka`bah, dia tetap harus berijtihad untuk mengetahui kiblat. karena dia memiliki cara untuk mengetahui melalui matahari, bulan, gunung dan angin. sebagaimana firmannya:
"dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang itulah mereka petunjuk. (QS. al-Nahl (16):16)
Dengan berlandaskan ayat diatas, dia berhak untuk berijtihad (dalam menentukan letak ka`bah) seperti orang yang paham tentang fenomena alam.
Dalam kitab al-umm disebutkan yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat ke bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). karena, orang yang diwajibkan menghadap kiblat, ia wajib menghadap ke bangunan ka`bah, seperti halnya orang mekkah. adapun argumentasi yang digunakan oleh kelompok ini berdasarkan pada hadits ibnu abbas yaitu:
"sesungguhnya rosululloh saw setelah memasuki ka`bah, belia keluar lalu melakukan shalat dengan menghadapnya. kemudian beliau bersabda: "inilah kiblat". (hr. al-bukhari dan muslim)
Imam muzani, murid imam asyafi`i, mengatakan bahwa yang wajib adalah menghadap ke arah ka`bah (jihat al-ka`bah). karena, seandainya yang wajib itu menghadap bangunan ka`bah secara fisik, maka shalat berjama`ah yang shafnya memanjang adalah tidak sah, sebab di antara mereka terdapat orang yang menghadap kearah di luar bangnunan ka`bah. (imam al- syairazi, al-muhazdzdab yang dikomentari oleh imam nawawi, majmu ; juz 3 hlm. 198-199). pendapat yang sama diungkap syeikh khatib al-syarbini, beliau menyatakan bahwa seandainya ada suatu penghalang yang bersipat alamiah antara orang yang berada edi mekkah dan bangunan ka`bah, misalnya gunung -gunung, atau bangunan yang baru, maka ia boleh berijtihad untuk menentukan kiblatnya, karena ada kesulitan untuk melihatr ka`bah secara langsung. di tempat yang lain dan masih kiblat yang sama, beliau menjelaskan tidak boleh menentukan arah ka`bah di mihrab nabi saw dan di masjid-masjid yang pernah digunakan shalat oleh rosululloh. hal ini di sebabkan, nabi saw tidak pernah memutuskan sesuatu yang keliru. (khatib al-syarbini, mughni al-muhtaj ila ma`rifat ma`ni alfazh al-minhaj, hlm. 202-203 dan imam ramli dalam nihayat al-muhtaj, hlm 424-425).
Pendapat diatas berlandaskan sebuah hadits yang diriwayatkan abu hurairah ra dari sabda nabi saw.
"arah timur dan barat adalah kiblat". (hr.tirmidzi, (abwab al-shalat); ibnu majah, sunan ibu majah, juz 1,hlm. 323 (kitab iqamat al-shalat), imam malik, al-muwaththa, juz 1, hlm.197 (bab ma ja`a fi al-qiblat) lihat juga nuwawi, majmu, juz 3, hlm. 203).
Dari dua pendapat yang telah didukung oleh dalil masing-masing diatas, imam nawawi salah satu mujtahid tarjih madzhab safi`i, menilai bahwa pendapat yang benar dalam madzhab safi`i adalah wajib menghadap kebangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). selanjutnya ia menyebutkan pandangan ini dipegang juga oleh sebagian ulama madzhab maliki dan satu riwayat dari imam ahmad bin hanbal.
Penilaian imam nawawi tentang arah kibalat tersebut sama halnya dengan pendapat ibrahim al-bajuri. neliau menyatakan bahwa perkataan ibnu qasim al-ghazi "menghadap kiblat", maksudnya adalah menghadap kepada bangunan ka`bah, bukan pada arah ka`bah. lebih jauh beliau menegaskan pendapat ini yang di pegang dalam madzhab syafi`i dengan yakin melihat bangunan ka`bah bagi yang dekat dengannya, dan dengan perkiraan (zhann) bagi yang jaraknya jauh dari ka`bah ibrahim al-bajuri, hasyiyah `ala syarh al-"alamah ibnu qasim al-ghazi, juz 1, hlm 142 dan abi bakri al-dimyathi, `ianah al-thalibin), hlm. 123).
keempat, ulama madzhab hambali berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap kearah ka`bah (`jihat al-ka`bah).
Imam ahmad bin hanbal mejelaskan, "arah antara timur dan barat adalah kiblat". dengan demikian, jika melenceng sedikit dari arah ka`bah tersebut, maka shalatnya tidak perlu di ulang. meskipun begitu, ia harus seksama mengarahkan shalatnya pada bagian tengah kiblat. pendapat tersebut di kemukakan juga oleh imam abu hanifah.
Bagi kalangan hanabilah, terdapat dalil yang selalu disebut yaitu sabda nabi saw, "arah timur dan barat adalah kiblat". (hr. al-tirmidzi dan ternasuk hadits hasan shahih).
Badits di atas menunjukan bahwa semua arah antara timur dan barat adalah kiblat. sebab, seandainya kewajiban itu berupa menghadap kebangunan ka`bah (`ain al-ka`bah) secara tepat, tentu shalat jama`ah dengan shaf yang panjang melewati garis yang lurus ke ka`bah adalah tidak sah. begitu pula dua orang yang berjauhan jaraknya, kemudian shalat dengan menghadap kiblat yang sama, maka shalatnya tidak sah, karena menghadap ke bangunan ka`bah tidak dapat di lakukan oleh jama`ah pada shaf yang panjang (melebihi batas lebar bangunan ka`bah).
Jika ada yang mengatakan bahwa jarak yang berjauhan dapat memperluas cakupan orang yang lurus dengannya, maka dapat dijawab bahwa cakupan bangunan ka`bah menjadi luas apabila shafnya dalam p-osisi melengkung, sedangkan apabila shafnya lurus memanjang, maka cakupannya tidak menjadi luas. dengan demikian, makna syathr al-bait adalah arah dan hadapan ka`bah (ibnu qudamah, al-mughni, juz 2, hlm. 101-102).
Ali mustafa yaqub menegaskan bahwa fakta berbicara, para ulama sepakat atas syahnya shalat berjama`ah dengan shaf yang memanjang diluar garisyang lurus mengarah ke bangunan ka`bah. hal ini apabila orang yang berada pada shaf tersebut yidak melihat ka`bah. kesepakatan ini adalah termasuk produk hukum ijma`. kiblat bagi orang yang berada di sebelah utara ka`bah, apabila ia tidak melihat bangunan ka`bah, adalah arah selatan mana saja. kecuali apabila ia shalat di depan masjid nabawi atau masjid-masjid yang pernah disinggahi rasulullah saw untuk shalat, maka ia wajib menghadap bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). sebagaimana orang yang berada di sebelah selatan ka`bah, maka kiblatnya, adalah arah utara mana saja. begitupula orang yang berada di sebelah barat ka`bah, maka kiblatnya adalah arah timur mana saja. demikian pula orang yang berada di sebelah timur ka`bah, maka kiblatnya arah barat mana saja. kaum muslimin indonesia termasuk orang-orang yang berada di sebelah timur ka`bah, maka kiblat mereka adalah arah barat, mana saja. (ali mustafa yaqub, kiblat; antara bangunan dan arah ka`bah,)
Komentar
Posting Komentar