Mata Pelajaran Berbasis Agamis

Semarak Hari Amal Bakti Kementrian Agama  3 Januari 2011

Bersama  H. Azam Saputra,M.PdI

H. Azam Saputra,M.PdI
Dalam rangka Hari Amal Bakti Kementrian Agama RI yang ke-65, Kepala Madrasah Tsanawiyah Bantarwaru Ligung Azam Zaputra, M.Pd.I  memberikan pandangannya. Menurutnya Hari Amal Bakti itu merupakan hari ulang tahun Kementrian Agama (Departemen Agama) sekaligus momentum yang baik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan seluruh warga Kementrian Agama di Tanah Air khususnya di Kabupaten Majalengka.
Kementrian Agama mengandung sejarah perjuangan yang cukup panjang. Keberadaan dan kehadiran Kementrian Agama cukup lama yaitu sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Melihat pendidikan agama, sejak jaman Belanda tidak dimasukkan dalam mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal. Alasannya, waktu itu, mengandung unsur politik dari pihak Belanda. Belanda punya keinginan untuk meredupkan pengaruh pendidikan Islam di lembaga formal. Pada jaman Belanda, pendidikan agama itu bersifat sukarela.
Sejak kemerdekaan,  pendidikan agama  Islam masuk dalam pendidikan formal dan  Menurut informasi yang saya terima saat ini, pendidikan agama dijadikan mata pelajaran yang di-UN-kan.  Saya menyambut dengan baik adanya kebijakan tersebut. Pendidikan  agama tidak lagi dilihat sebelah mata, tetapi kedudukannya harus lebih tinggi dari mata pelajaran-pelajaran lain. Pelajaran agama (Islam) harus menjiwai mata pelajaran lainnya. Mata pelajaran lainnya harus berbasis agamis. Contohnya, pada saat menerangkan pelajaran Fisika, seorang guru harus menanamkan juga aspek pendidikan agamanya. Pada saat guru sedang menerangkan tentang tumbuh-tumbuhan, guru pun harus menjelaskan sang pencipta tumbuh-tumbuhan tersebut.
            Di MTsN Bantarwaru Ligung Majalengka Jawa Barat, pendidikan agama Islam bukan hanya teori tapi benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan peserta didik di madrasah ini harus mampu mengimplementasikan semua yang didapatkannya pada kehidupan sehari-hari. Contoh, pada saat siswa belajar akidah dan akhlak, di keluarga harus menjadi contoh dan kepada masyakarat harus menjadi tauladan. Kebanyakannya sekadar teoretis. Ketika anak diajari shalat maka peserta didik harus mengimplementasikan shalat sebagai satu kewajiban yang harus dilaksanakan.
            Langkah atau metode yang diterapkan dalam upaya upaya mengimplementasikannya, seminggu sekali atau paling lambat sebulan sekali pihak sekolah menerjunkan tim pemantau perkembangan atau kehidupan sehari-hari para siswa di tempat tinggalnya masing-masing. Setiap masjid di sekitar sekolah dipantau oleh guru MTsN Bantarwaru dan hasilnya dibawa ke dalam forum musyawarah dewan guru MTsN bantarwaru untuk dilakukan follow-up apabila ada hal-hal yang perlu ditangani segera.
            Beberapa temuan di antaranya peserta didik masih kurang optimal dalam pelaksanaan ibadahnya. Masih ada di antaranya yang belum berangkat ke masjid untuk beribadah dengan alasan jarak tempuh dari rumah ke masjid cukup jauh. Masalah lain di antaranya, minimnya peran orangtua dalam memotivasi anaknya (siswa MTsN Bantarwaru), dan ada juga siswa yang ditinggal pergi orangtuanya ke luarnegeri, pembinaan di lingkungan rumah menjadi lemah. Ada juga siswa yang ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya sehingga ia terpaksa harus  tinggal dengan neneknya dan secara psikologis anak tersebut kurang maksimal dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan kehidupannya tidak terkontrol dengan baik. Salahsatu solusinya adalah dilakukan kunjungan secara intensif sebanyak seminggu sekali.  Mereka diberi pembinaan oleh walikelas dan guru Pendidikan Agama Islam. Setelah dilakukan program controlling tersebut akhirnya siswa dengan kondisi tersebut bisa berubah dan mengalami peningkatan dari volume belajar dan mereka pun cukup bersemangat kembali dalam belajar. ***

Komentar

Postingan Populer