Masih ABG Kerja di Jebor

Jatiwangi pernah mengalami masa kejayaannya pada dekade 80 di mana saat itu industri genteng Jatiwangi berkembang pesat. Pabrik-pabrik genteng yang sebelumnya sudah lebih dulu eksis akhirnya menjadi leader dalam aspek produksi dan marketingnya. Pada saat itu pabrik-pabrik yang mengalami masa kejayaan adalah Padil, Abadi, Maher, dan Sentosa. Sampai akhir tahun 2000, jumlah pabrik genteng mencapai lebih dari 1.000 pabrik baik skala besar atapun pabrik kecil (jebor). Dengan jumlah pabrik yang banyak tersebut, tenaga kerja yang terserap di sektor industri tersebut cukup banyak namun lebih lebih didominasi oleh kalangan wanita. Kebanyakan dari mereka adalah kaum ibu. Mereka bekerja di pabrik genteng yang tersebar di 16 desa yaitu desa Burujulwetan, Burujulkulon, Cicadas, Sutawangi, Surawangi, Jatisura, Loji, Andir, Jatiwangi, Leuweunggede, Sukarajawetan, Sukarajakulon, Pinangraja, dan desa Cibentar. Di antara para pekerja pabrik genteng kelas jebor terdapat di antaranya pekerja dari kalangan belia. Mereka yang bekerja di pabrik genteng berusia antara 14-18 tahun atau masih ada dalam usia sekolah. Artinya mereka adalah remaja putus sekolah yang berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya kondisi tersebut mencerminkan bahwa aspek pendidikan di wilayah Jatiwangi secara khusus di kalangan masyarakat pekerja pabrik genteng masih kalah penting dibandingkan dengan upaya pemenuhan hidup. Padahal mereka yang berusia remaja memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Sampai saat ini, masih banyak pengusaha genteng di Jatiwangi yang mempekerjakan buruh pabrik genteng dari kalangan remaja. Beberapa pabrik genteng secara faktual masih membiarkan remaja usia sekolah bekerja. Ini adalah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Majalengka khususnya Dinas Pendidikan (Disdik). Disdik Kabupaten Majalengka memiliki kewajiban menekan angka putus sekolah sebab dengan tingginya remaja usia sekolah yang bekerja di pabrik genteng menunjukkan adanya kelemahan Pemerintah Kabupaten Majalengka untuk memperhatikan nasib generasi mudanya. Namun sejauh ini Pemerintah Kabupaten Majalengka belum menyentuh masalah tersebut padahal jika dicermati masalah itu berpengaruh pada terancamnya keberhasilan program Wajar Dikdas atau tidak adanya peningkatan mutu SDM di kalangan masyarakat khususnya di sekitar industri genteng Jatiwangi mengingat generasi mudanya direpotkan oleh kerja keras dan banting tulang mencari sesuap nasi dengan cara menjadi buruh jebor.
Menurut Awan S. Abdullah, masalah tersebut seyogyanya dikembalikan kepada peranan orangtua sebab orangtua menjadi salahsatu faktor utama keberadaan anak-anaknya bekerja di pabrik genteng. Tanpa ada dukungan atau restu dari orangtua, Awan berpendapat, tidak mungkin mereka bisa bekerja di sana. Hal ini juga harus dilihat dulu kondisi ekonomi orangtuanya dan dicari alasannya. Akan tetapi berdasarkan hasil pantauan diketahui bahwa faktor ekonomi menjadi salahsatu penyebab utama.
Pimpinan Jatiwangi Art Factory (JAF) Majalengka, Ginggi Syarif Hasyim berpendapat berbeda. Menurutnya, saat ini justru tenaga kerja usia sekolah cenderung berkurang "Kalo sekarang keluaran SMP paling...kalo dulu iiya...karena ada paradigma buat apa sekolah tinggi akhirnya ke jebor juga...sekarang malah agak kesulitan nyari pekerja..karena ketika tingkat pendidikan meningkat,kerja di pabrik genteng sudah tak menarik lagi...!" Ujarnya melalui situs jejaring sosial Facebook.
Sementara itu, praktisi pendidikan Rudy Arbiani berpendapat bahwa masalah tersebut cukup dilematis. "Namun kita kembalikan lagi ke peraturan perundangan yang berlaku mengenai ketenaga kerjaan (UU no 13 Thn 2003), di sana sudah diatur mengenai ketentuan izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja, waktu kerja maksimum, hubungan kerja, upah, dan lain-lain...!" Ujar Rudy.
"Namun "masalah" yang nampak jelas menurut saya, penyebab banyaknya pekerja di bawah umur adalah karena faktor kemiskinan (ekonomi)...!" imbuhnya. ***


Komentar

Postingan Populer