Pil Pahit & Tinta Rakyat Didik Sedyadi


KAPAN MENIRU JEPANG ?
  
Berdasarkan munculnya berbagai macam persoalan bangsa seperti korupsi, tawuran, kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan, sifat konsumtif dan sejenisnya, maka perlu adanya pengintegrasian pendidikan karakter bangsa dalam setiap mata pelajaran. Paling tidak, itulah yang masih bisa diingat oleh pak Segar sehabis mengikuti bimbingan teknik tentang pendidikan berbasis karakter bangsa.
“Wah bagaimana ini, guru muda, ….. oleh-oleh binteknya?” Tanya Pak Tata, guru senior di SMP Kaki Langit 171 Kabupaten Nukami.
“Emmm begini Pak Guru Senior dan berpengalaman …… “
“Stop! Stop! Jangan menyanjung aku!” Kata Pak Tata sambil tertawa.
“Kenapa?”
“Aku sudah terlalu sering disanjung!” Kata pak Tata kemudian terbahak-bahak.
“Wah! Narsis! Pe-de amat!”
Jam ke 3-4 keduanya kebetulan tak ada jadwal mengajar. Maka seperti biasanya terminal obrolannya di warung Mang Epul, sekalian memberikan rizki bagi si mamang.
“Apa yang menarik dalam bintek itu Pak Segar?”
“Kondisi bangsa kita yang amburadul, tak bisa dibanggakan, semau gue, susah diatur, tabu diajak bener! Nah inilah yang mendasari mengapa pendidikan berbasis karakter perlu diterapkan dengan diintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran.” Kata pak Segar berapi-api.
“Beban guru semakin berat , yaaaa… muatan kurikulum saja sudah seabreg, ditambah kudu mikir lagi kumaha carana program titipan ini diterapkan. Untung aku hampir pensiun.”
“Wah …. wah ….. guru senior cuci tangan!” Kata Pak Segar mencibir.
“Hahaaa…. jeli juga pikiran Pak Segar. Terus, apa motivasi awal di dongeng pendahuluan bintek itu?”
“Bangsa Jepang Pak, dulu dua kota penting di Jepang Hiroshima dan Nagasaki dihancurkan oleh sekutu dengan bom atomnya. Jepang hancur secara fisik, kalah perang, bahkan sampai ke psikisnya juga hancur. Namun apa yang terjadi? Bangsa Jepang ternyata bisa bangkit kembali dari keterpurukan. Bahkan sekarang telah terbukti menjadi raja ekonomi di dunia. Itu artinya bangsa Jepang punya karakter yang kuat. Nah ini yang patut dicontoh . Di tengah-tengah permasalahan bangsa kita, kita harus banyak belajar dari bangsa Jepang.”
“Ooo jadi Jepang hebat ya?”
“Hebat.”
“Kita harus meniru cara-cara bangsa Jepang bangkit dari keterpurukan, hingga akhirnya menjadi sebesar dan setangguh sekarang.”
“Bagaimana cara menirunya?”
“Ngggg….. wah…wah…. bagaimana ya?” Kini pak Segar garuk-garuk kepala.
“Apakah kita meniru atau mempelajarinya lewat buku-buku?” Pancing Pak Tata.
“Ooo lha iya begitu! Itu salah satu caranya!”
“Pak Segar waktu kuliah di kampus pernah membaca buku-buku referensi dari Jepang? Terbitan Tokyo, Yokohama, Kyoto misalnya atau yang lain?”
“Nggak, nggak ….. nggak pernah, rasanya nggak ada buku-buku dari Jepang,”
“Buku tentang teori pendidikan dari mana? Penulis-penulis kita, para doctor dan professor, mengambil pustaka rujukannya darimana?” Tanya pak Tata sambil nyeruput es teh-nya.
“Amerika. Ya, Amerika, Singapura, Australia, Inggris…. “
“Terus maksudnya contohlah Jepang itu yang bagaimana? Apa hanya sekedar pakailah kendaraan buatan Jepang? Cintailah produk jepang?”
“Hla ya ndak gitu Pak Tata …. Maaf, saya kan guru muda yang kurang pengalaman.”
“Bukan kurang pengalaman, hanya kurang jeli. Kalau yang dijadikan motivasi itu Jepang, ya marilah kita adakan revolusi besar-besaran, secara bertahap boleh, kita datangkan buku-buku tentang pendidikan dari Jepang, buku-buku pertanian, teknologi, rekayasa, tata krama sosial dari Jepang. Masuk akal kan?”
Sebuah hal yang kontardiktif memang. Motivasi tentang kebangkitan orang-orang Jepang, akan tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana cara mereka bangkit lewat buku-buku. Bagaimana sistem pendidikan yang mereka pakai, melalui buku-buku rujukan. Selalu saja referensinya western-minded. Kalau sudah tahu ada sebuah ketidakkonsistenan semacam ini, bagaimana mungkin tujuan pendidikan berbasis karakter akan berhasil dengan dongeng pertama tentang Jepang ?
Bayangkan misalnya terdapat sebuah ajakan “ Mari kita pelajari kesantunan orang Cianjur”, tetapi buku panduannya tentang kesantunan orang Padang. Ujung-ujungnya pemborosan energi, sebab malah berjalan tak tentu arah. Tapi apakah benar karakter bangsa kita sudah tidak ada? Aaa…aa trus bagaimana memulainya di sekolah Pak Segar, kata bintek itu?”
“Pak! Dalam bintek disebut bahwa yang menjadi tokoh sentral pendidikan berbasis karakter adalah kepala sekolah kok! Keteladanan. Ada dalam tayangan power pointnya lho! Itu power point dari pusat lho! Keteladanan kepala sekolah akan ditiru oleh para guru, keteladanan guru akan ditiru oleh para siswa ,… sekarang jangan salahin siswa, balikin, siswa amburadul berarti gurunya hahahihi, guru amburadul nggak nurut aturan, semau gue, berarti kepala sekolahnya hahahihi juga!”
“Wah benar nih? Tugas berat kepala sekolah niiih….. untung aku hampir pensiun!” Gumam Pak Tata.
“Waaaaaahhhh….. cuci tangan lagi!” Kata Pak Segar  si guru muda. ***

Komentar

Postingan Populer