Iklan

ABISASTRA PHOTOGRAPHY The Art of Photography

Sabtu, 11 Desember 2010

Air Mata Sang Guru

Aan Subarhan, Penulis dan Pendidik asal Leuwimunding
Sebulan sudah kita disibukan dengan berita-berita yang cukup miris dan cukup menyesakkan dada. Mulai dari tukang sinden sampai dengan presiden, dari tukang patri sampai para menteri, dari tukang sumur yang ada di desa sampai dengan insinyur yang ada di kota, dan hampir seluruh lapisan bangsa ini bahkan sudah tersebar sampai ke luar negeri semuanya mengerutkan dahi mencermati berita beredarnya video mesum dengan pemeran mirip bebrapa figur publik di negeri ini. Semua disibukan untuk ikut berkomentar sekaligus mencari siapa dalang dari beredarnya video tersebut. Jajaran aparat hukum terjun secara insent untuk mngungkap kasus ini. Bahkan tidak tanggung-tanggung sekelas kepala negera di negri ini pun ikut angkat bicara untuk sesegera mungkin menyelesaikan kasus ini.
Cukup beralasan memang ketika kasus ini mencuat secara otomatis akan komlpeks dampak yang ditimbulkannya. Lihat saja setelah beredarnya video ini, banyak terjadi kasus-kasus baru yang merupakan imbas dari adanya penyebaran video tersebut. Semuanya merupakan kasus pornografi yang sangat erat kaitanya dengan amoralisasi bangsa ini. Tengok saja belum lama ini beredar lagi video mesum dari Garut yang diperankan oleh anak sekolahan, pencabulan anak sekolah di Surabaya dan masih banyak lagi kasus pornografi lainnya yang mungkin saja masih belum mencuat.Ditambah lagi dengan hasil survey berbagai lembaga yang baru dirilis yang banyak menyatakan bahwa prosentase pornografi bahkan tindakan asusila dinegeri ini meningkat tajam.


Kasus demi kasus yang terjadi dengan tema hampir sama, memang perlu mendapatkan perhatian lebih dan harus dicarikan solusi pencegahan maupun mendeletnya dari negeri ini. Berbagai aspek dengan berbagai cara maupun institusi harus bergerak cepat kalau tidak ingin kasus-kasus ini mewarisi generasi berikutnya.Tidak lagi saling lempar tanggungjawab ataupun saling menyalahakan diantara kompenen bangsa ini. Justru seharusnya kita coba menarik benang merahnya dari awal untuk menghindari sekaligus menghapus kasus-kasus ini dimasa yang akan datang.
Coba kita menarik awal dari semua kasus tersebut, minimalnya aspek mana dulu yang harus kita perbaiki untuk mendapatkan solusi atas kasus tersebut. Kalau kita boleh jujur, mungkin gurulah yang pertama akan merasa terpukul sekaligus menangis melihat kasus-kasus tersebut. Disaat guru sudah berusaha maksimal memberikan yang terbaik untuk mencetak kader-kader bangsa yang memang menguasai IPTEK seklagus juga IMTAQ ternyata kasus-kasus ini muncul dan lebih parahnya kebanyakan diasumsi bahkan diperankan oleh anak didiknya. Tentu saja hal ini menjadi tanda tanya besar bagi guru sebagai pendidik apa sebenarnya yang terjadi dan dimana pula letak kesalahannya.
Jelas-jelas guru sangat terpukul dan menangis kalau sampai kasus-kasus pornografi ini berlanjut kepada generasi-genrasi berikutnya yang merupakan anak didiknya.Apakah ini merupakan kesalahan sistem pendidikan kita ataukah ini merupakan sebuah ujian berat bagi dunia pendidikan supaya lebih instens lagi mencetak generasi-generasi Bangsa yang benar-benar aju dalam IPTEK sekaligus IMTAKnya. Ka;u dilihat dari kasus ini memang salah satu bentuk kecil dari gagalnya dunia pendidikan. Tapi bukan berarti gagalnya sebuah sistem pendidikan ataupun gagalnya figur seorang pendidikan dalam melakukan tugasnya. Perlu diingat oleh kita bahwa yang namanya pendidikan itu cukup luas, bukan skedar pendidikan formal yang adanya di sekolah ataupun bangku kuliah dan bukan hanya guru disekolah yang bertugas untuk melaksanakan pendidikan, melainkan setiap waktu dan ruang yang dimiliki oleh seseorang maka disitulah pendidikan akan didapatkan dan setiap individu mempunyai tugas untuk mendidik. Hanya saja mungkin ketika seorang aanak bangsa sudah dititipkan ke dalam lingkungan yang berbetuk lembaga pendidikan, baik itu sekolah, pesantren, lembaga kursus, ataupun tmpat perkuliahan, maka secara otomatis pandangan sebagian masyarakat menganggap bahwa pendidikan anak bangsa itu sudah mutlak menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan tersebut dan dalam hal ini beban mendidik secara mutlak ada ditangan para pendidiknya baik itu guru, ustad, pembimbing ataupun dosen.
Padahal kalau kita mau bijak sebenarnya pandangan itu tidak adil dan tidak tepat karena seperti yang dikatakan tadi bahwa pendidikan ini luas sekali sesuai dengan ruang dan waktu dimana individu ini berada. Tengok saja ketika setiap orang yang baru lahir, maka pendidikan yang pertama didapatkannya bukan dari sekolah ataupun guru melainkan dari kedua orang tuanya dan keluarganya sampai nanti menginjak masa-masa sekolah. Sehingga tanggungjawab pendidikan awal adalah keluarga dalam hal ini kedua orang tuanya sendiri. Bahkan dalam ajaran Islam sendiri sangat tegas bahwa sebagi orang tua maka bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anaknya sekaligus akan ikut membentuk karakter anaknya. Bisa kita lihat dari sebuah Hadis Nabi SAW "“Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah. Maka ibu-bapanyalah yang menasranikana tau menyahudikan atau memajusikannya. (H.R. Bukhari Muslim)". dari Hadist ini jelas sekali bahwa dalam Islam yang namanya pendidikan dalam keluarga dan peran orang tua dalam mencetak sekaligus mendidik anakn-anaknya sangat besar sekali sehingga sampai dikatakan bisa membentuk aqidah dan keyakinannya. Kalau aqidah dan keyakinannya saja bisa dibentuk apalagi karaktek, sifat maupun sikapnya akan lebih mudah dibentuk oleh keluarga maupun kedua orang tuanya.
Dari sini saja bisa dilihat bahwa tidak adil kiranya kalau hanya dunia pendidikan dalam hal ini lemaga pendidikan ataupun secara spesifik lagi para pendidik (guru) yang disalahkan ketika kasus-kasus amoral ini terjadi. Itu baru dilihat dari faktor tanggung jawab, belum lagi kalau dilihat dari waktu dimana setiap anak berada. Sangat jauh prosentase keberadaan anak ketka dirumah dan disekolah, bahkan tidak sampai setengahnya. hari 24 jam keberadaan anak disekolah hanya berkisar 6 jam itupun kalau memang si anak rajin dan tetp mengikuti proses pendidikan di sekolah ataupun lembaga pendidikan dengan baik. Ini sangat berbeda ketika anak berada dilingkungan rumah ataupun keluarganya hampir 12 jam mereka aktif beraktiftas dan membentuk karakternya. Sehingga pengawasan, pendidikan seklagus contoh yang baik dari keluarga maupun orang tua mutlak dibutuhkan.
Realitas seperti itulah yang harus kita jadikan juga sebagai bahan evaluasi bersama dalam membentuk generasi-generasi penerus bangsa ini supaya terhindar dari kasus-kasus amoral dimasa yang akan datang. Terlebih lagi masih bnyak faktor lainnya, baik itu dari faktor lingkungan maupun sistem pendidikan yang didalamnya mengandung materi-materi pendidikan itu sendiri. Karena harus kita sadari bahwa proses perkembangan generasi-generasi bangsa ini tidak bisa lepas dari faktor-faktor pembentukan psikologisnya. Na kalau sudah mengarah ke situ, maka teori-teori psikolgi perkembangan yang mempengaruhi terbentuknya karakter ini harus juga menjadi pemhaman kita bersama. Kita pasti masih ingat bahwa ada teori-teori nativisme, empirisme dan konvergensi yang pada akhirnya bisa mempengaruhi sekaligus membentuk karakter seseorang. Dari sini pula kita harus bijak bahwa bukan sekedar tanggung jawab seorang guru ataupun lembaga pendidikan dalam mencetak generasi-generasi bangsa yang menguasai IPTEK skaligus IMTAQ nya. Melainkan ada juga faktor pembawaan dari sejak lahir (Teori Nativisme), Pengaruh lingkungan (Teori Empirisme) ataupun perpaduan dari keduanya (Teori konvergensi), yang ikut membentuk karakter seseorang. Manapun dari keitganya yang kita percayai dan kita anut, pada intinya itulah realita yang terjadi saat ini dalam memandang kasus-kasus amoral.
Faktor keluarga dalam hal ini keluarga maupun faktor lingkungan yang telah dipaparkan tersebut jelas berkontribusi besar dalam membentuk pendidikan seseorang. Tapi bukan berarti semuanya telah selesai sampai disini dan bisa menarik satu solusi. Kita juga tidak boleh malu untuk membuka kembali file-file sistem pendidikan formal saat ini. Jelas sebagai salah satu unsur penting dalam pendidikan bangsa ini, maka lembaga pendidikan formal yang sudah tertata rapi dalam Sistem Pendidikan Nasional ini juga harus diperbaiki segala kekurangannya. Faktor pembentukan kognitif, afektif maupun psikomotorik yang seimbang bagi anak didik harus benar-benar terealisasi. Begitu juga dengan filosofis pendidikannya bukan hanya sekedar untuk menuju kebahagian dunia yang miskin akan nilai-nilai mulia ataupun hanya bersifat materialistis semata, melainkan ada orientasi juga untuk kebahagian akhirat. Minimalnya apanya yang sering kita panjatkan dalam sebuah doa "Rabbana 'atina fiddunya hasah wafil akhirati hasanah wa qina 'ada ban naar" bisa benar-benar enjadi orientasi dalam sistem pendidikan kita.
Kalau kondisinya sudah bisa seperti itu maka pembentukan karakter bangsa dalam hal membentuk generasi-generasi bangsa yang menguasai IPTEK sekaligus IMTAQ nya akan mudah tercapai. Bersama semua kompenen bangsa ini bahu membahu untuk ikut menciptakan pendidikan dalam arti luas tidak lagi parsial tapi kompherehsif. Jadi tidak ada salahnya kalau pada akhirnya dunia pendidikan kita akan tersenyum bahagia begitu juga guru tidak akan ada lagi air mata yang berlinang dipipinya menyaksikan dunia pendidikan yang baik dan berkarakter sesuai dengan orientasi mendapatkan Kebahagiaan Dunia dan Akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar