Iklan

ABISASTRA PHOTOGRAPHY The Art of Photography

Senin, 01 November 2010

Tak Ingin Menjadi Pemimpin yang Rakyatnya Sengsara

Tom Finaldin
Tom Finaldin, menjadi pemimpin bagi anaknya
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang, “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! Ngaing moal ngahalang-halang sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi raja anu somah sakabéhna, lapar baé, jeung balangsak.” 

Dalam bahasa Indonesia.

Prabu Siliwangi berkata kepada warga Pajajaran yang ikut mundur sebelum menghilang, “Perjalanan kita hanya sampai hari ini meskipun kalian semua setia kepadaku! Aku tidak boleh membawa-bawa  kalian pada masalah ini, ikut-ikutan hidup sengsara, ikut kumal sambil kelaparan. Kalian harus memilih untuk hidup selanjutnya supaya nanti bisa hidup makmur dan kaya raya, bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti yang sekarang ini, melainkan Pajajaran yang berdirinya dibangkitkan oleh perkembangan zaman! Pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi sebab bagiku, tidak pantas menjadi raja yang seluruh rakyatnya selalu lapar dan sengsara.”

Dalam paragaraf di atas, ada beberapa hal menarik yang dapat kita jadikan pelajaran agar lebih bijak dalam menjalani kehidupan ini. Pertama, Prabu Siliwangi adalah bukan sosok pemimpin yang egois. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri dengan tetap memaksa rakyatnya untuk mengikutinya ke mana pun dalam kondisi apa pun. Ia tidak menipu rakyatnya dengan berbagai janji kemenangan dan kemakmuran yang akan didapatnya jika rakyatnya terus mengikuti dirinya. Padahal, sesungguhnya Prabu Siliwangi sangat mungkin dapat terus mengajak rakyatnya yang sangat setia itu untuk ikut bersamanya dengan membuka lahan baru untuk kemudian dikembangkan lagi menjadi kerajaan baru. Saat itu memang sangat memungkinkan untuk membentuk kerajaan baru karena penduduk Indonesia dan atau nusantara ini masih sangat sedikit di samping lahan-lahan kosong, rawa-rawa, hutan, dan gunung masih terbuka luas.

Berbeda dengan pemimpin-pemimpin yang hilir mudik saat ini. Banyak di antara mereka yang terus mempengaruhi pengikutnya dan rakyat untuk tetap setia kepadanya dengan menjual berbagai janji kosong dan impian kering yang dirinya sendiri tidak memiliki keyakinan untuk mewujudkannya. Mereka terus berbohong karena egois. Yang mereka pikirkan sebenarnya bukan pengikutnya atau rakyat, tetapi kepentingannya sendiri. Kalaulah ada di antara pengikutnya yang disejahterakannya, itu sebenarnya bukan untuk kepentingan pengikutnya sendiri, melainkan untuk melanggengkan kekuasaannya sendiri. Ketika Sang Pengikut itu sudah dianggap tidak lagi berguna, mereka akan beralih kepada orang lain yang dianggapnya lebih menguntungkan.

Kedua, Prabu Siliwangi adalah seorang nasionalis sejati. Karena tidak egois, ia lebih mementingkan kehidupan keseluruhan negaranya. Ia tidak memaksa rakyatnya untuk ikut terus bersamanya. Ia ingin rakyatnya dapat hidup sesuai dengan pilihannya sendiri agar pada masa depan dapat lagi mendirikan Pajajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ia tidak ingin Pajajaran hancur luluh musnah tak berbekas hanya karena ingin terus dihormati dan disegani rakyatnya. Ia tidak ingin Pajajaran tidak bisa berdiri lagi hanya karena dirinya ingin selalu dilayani rakyatnya. Ia memilih pergi menghilang, mundur dari pentas ruang kehidupan, dan menyerahkan kelanjutan Pajajaran kepada rakyatnya.

Berbeda jauh dengan para pemimpin egois saat ini. Mereka terus mengumbar janji palsu dan menyebar uang recehan agar rakyat terus hidup bersamanya dan percaya kepadanya. Mereka mengelabui rakyat bersama tim suksesnya agar terus tampil baik meskipun sesungguhnya dirinya dipenuhi dengan lumpur keburukan yang setiap hari semakin kotor. Mereka sama sekali tidak terlalu mementingkan keseluruhan hidup negaranya. Meskipun mampu berceramah dan menulis tentang nasionalisme, pada kenyataannya mereka lebih mementingkan diri, keluarga, dan kelompoknya dibandingkan negaranya. Mereka berkoar-koar berjuang untuk rakyat, tetapi sebenarnya menguras tenaga dan keringat rakyat agar dirinya dapat terlayani kepentingan-kepentingannya. Mustahil mereka memilih pergi untuk hidup sengsara demi negaranya dan mempercayakan kekuasaannya kepada orang lain. Mereka lebih suka korupsi dibandingkan menyumbangkan potensi dirinya untuk rakyat. Kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadap negeri ini, mereka lebih suka merapat kepada para penguasa ekonomi dibandingkan terus berjuang  untuk kepentingan rakyat.

Ketiga, Prabu Siliwangi adalah seorang spiritualis yang mampu melihat masa depan. Salah satu penyebab mundurnya Prabu Siliwangi adalah pandangan batinnya sendiri yang memahami bahwa dirinya sudah bukan lagi masanya untuk memimpin, bahkan mengetahui zaman sudah berubah.

Dalam salah satu sumber, Sang Prabu mengatakan, “Ayeuna geus wayahna Agama Selam.”

Artinya, sekarang adalah sudah waktunya untuk Agama Islam. Agama Selam yang dimaksud adalah Agama Islam.


Ia paham betul keterbatasan dirinya sebagai manusia dan mengetahui dengan jelas bahwa Islam akan menjadi agama mayoritas di negeri ini. Oleh sebab itu, Pajajaran yang masih kental dengan kehinduannya itu sudah harus mundur untuk nanti berdiri lagi sesuai dengan situasi dan kondisi yang baru dalam masyarakat mayoritas muslim.

Berbeda dengan banyak pemimpin saat ini. Karena bukan spiritualis, mereka sama sekali tidak memahami situasi yang sedang dan akan terjadi, bahkan memahami diri sendirinya pun tidak. Hal itu disebabkan mereka dan kita semua kebanyakan tentunya, terlalu bangga dengan ketertipuan kita yang sering melecehkan berbagai hal yang bersifat spiritual. Kita lebih berbangga-bangga dengan hal-hal yang bersifat materi, bisa teraba dengan indera yang hanya lima itu. Akibatnya, kita dan para pemimpin itu kurang mampu menangkap hal-hal yang bersifat ruhani. Lebih jauhnya, kita menjadi terlalu pendek pikiran, cepat marah, tidak sabaran, dan sering tertipu oleh gosip-gosip murahan.

Karena tidak memahami dirinya sendiri, para pemimpin yang kuras awas batinnya itu sering menganggap dirinya selalu bisa untuk menduduki jabatan, padahal waktunya sudah habis atau memang tidak memiliki jatah takdir untuk menempati posisi yang diincarnya itu. Mereka terus-terusan pontang-panting, kasak-kusuk, banting ini banting itu, melelahkan dirinya sendiri dan menipu rakyat, padahal sama sekali bukan masanya untuk memimpin. Akibatnya, mereka sering kaget saat terjatuh tiba-tiba. Mereka tidak menyangka bakal terjatuh seperti itu sambil bersumpah serapah karena telah mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan posisinya itu dengan hasil yang mengecewakan. Rakyat pun jadi dibuat pusing dengan tontonan semcam itu.

Keempat, Prabu Siliwangi itu memiliki kecintaan yang tinggi kepada rakyatnya. Ia tidak memaksa rakyatnya untuk selalu mengikuti dirinya sendiri. Ia membebaskan rakyatnya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk jika ingin ikut bersama dirinya. Ia ingin rakyatnya dapat mengecap kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Ia rela untuk ditinggalkan rakyatnya, kemudian pergi menghilang. Ia tak mengobral janji dan memenuhi impian rakyatnya dengan angan-angan kehidupan yang baru jika terus hidup bersama dirinya. Ia tak takut untuk  sendiri karena hidupnya tidak bergantung kepada rakyat. Ia tidak menjadikan rakyat sebagai objek untuk memperkaya dirinya sendiri. Bahkan, dalam masa jayanya, ia membimbing, mengayomi, mendorong, melindungi, dan bekerja bersama rakyat untuk kejayaan bersama.

Berbeda dengan para pemimpin korup saat ini. Mereka mencintai rakyat hanya ada dalam slogan kampanye, teriakan dusta, pidato-pidato bohong. Mereka justru menginginkan rakyat dapat memberikan kontribusi bagi keinginan-keinginannya yang rendah. Mereka takut sekali hidup tidak bersama rakyat karena akan kehilangan objek yang bisa ditipu dan diperasnya. Mereka mengarahkan rakyat untuk mengikuti keinginannnya sendiri dengan memolesnya seperti untuk kepentingan bersama.

Kelima, Prabu Siliwangi bukanlah seorang pendendam. Meskipun harus kehilangan negaranya, ia tidak melancarkan fitnah atau orasi yang memelihara dendam para keturunan Sunda untuk menuntut balas pada pihak-pihak yang memusuhinya. Ia tidak memberikan arahan dan atau strategi untuk perang-perang selanjutnya. Sama sekali ia tidak berceritera tentang musuhnya itu, kecuali jangka waktu yang menjadi hak musuhnya untuk berkuasa. Sang Prabu malahan terus menyemangati warganya agar dapat hidup lebih baik di mana saja berada dan atau bersama penguasa yang mana saja sepeninggal runtuhnya kekuasaan Pajajaran.

Berbeda jauh dengan para pemimpin rendahan yang bisanya ngutang sana-ngutang sini, jual janji sana-sini yang marah besar dan sekaligus stress ketika mengalami kekalahan. Mereka mencari kambing hitam untuk dipersalahkan atas kekalahannya. Di samping itu, mereka menyusun kisah-kisah dusta agar pengikutnya dan rakyat melakukan aksi-aksi balas dendam terhadap pihak-pihak yang mengalahkannya, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka sama sekali tidak memikirkan kehidupan orang banyak. Mereka hanya dipusingkan oleh kepentingannya sendiri. Hati mereka sama sekali tak rela jika orang banyak bisa hidup harmonis dengan pihak-pihak yang menjadi saingannya dalam perebutan kekuasaan.

Keenam, Prabu Siliwangi adalah negarawan tulen. Ia merasa tak pantas menjadi raja jika rakyatnya miskin dan menderita. Artinya, ia sama sekali tidak menginginkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Jika rakyat sengsara, berarti dirinya gagal dalam memimpin. Ia tak akan mati-matian untuk tetap menjadi raja jika memang tidak bisa memakmurkan rakyatnya.

Berbeda dengan para pemimpin kacangan yang pandai sekali petantang-petenteng di depan rakyat karena merasa lebih kaya raya dibandingkan rakyat. Mereka akan dengan sangat cepat menyalahkan rakyat dengan hinaan sebagai pemalas, sedangkan dirinya pintar dan rajin sehingga bisa berkuasa dan kaya raya. Padahal, rakyat itu adalah berada di bawah tanggung jawabnya. Mereka malahan merasa takut jika rakyatnya makmur. Rakyat yang makmur akan menjadi rakyat yang pintar. Rakyat yang pintar dapat lebih memiliki harga diri dalam memberikan penilaian dan bersikap atas perilaku-perilaku salah yang dilakukan pemimpinnya. Pemimpin kacangan justru sangat tidak ingin rakyatnya makmur karena rakyat yang sejahtera tak bisa lagi ditipu dan kedudukannya sendiri menjadi sangat terancam.

Mudah-mudahan tulisan ini memberikan manfaat kepada kita semua sehingga hal-hal positif yang ada dalam diri Prabu Siliwangi dapat diteladani dalam menjalankan roda berbangsa dan bernegara ini, siapa tahu toh di antara teman-teman ada yang kebagian jatah takdir untuk menempati posisi strategis dalam mengurusi kepentingan hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, kita semua dapat bersinergi untuk lebih cepat keluar dari berbagai kesulitan serta lebih jauhnya lebih cepat mencapai kejayaan dan kemakmuran bersama.

Bismillaahi Allahu Akbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar