Iklan

ABISASTRA PHOTOGRAPHY The Art of Photography

Minggu, 03 Januari 2010

Hubungan Hisab Qath’i dan Rukyat Al-Hilal....Oleh Drs.H.M. Athiollah,M.Ag (Cand Doctor)

Hisab qath’i dan rukyat al-hilal merupakan dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan. Seseorang dapat melakukan rukyat dengan tepat bila ditunjukkan oleh hisab. Kesaksian rukyat seseorang dapat ditolak bila semua sistem hisab. Menunjukkan mustahil al-rukyat bi al-fi’li, sebaliknya kesaksian seseorang diterima jika hisab qoth’i menyatakan sudah imkan rukyat al-hilal bi al-fi’li (Bughyatul Mustarsyidin hal. 51 dan 108; Iqodu Niyam hal. 16).
      Hisab dan rukyat memiliki objek yang sama, yaitu hilal. Karena itu, mernurut Munawir Syazali, (ex. Menteri Agama pelita IV/V), kedua cara itu tidak mungkin bertentangan. Sebab hisab yang benar sudah pasti akan memperoleh hasil yang sama dengan rukyat yang dilakukan dengan benar, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang benar pula serta penuh rasa tanggung jawab (Pikiran Rakyat, 30 April 1992). Hal ini, menunjukkan betapa pentingnya hisab qath’i dan rukyat al-hilal dalam menentukan awal akhir bulan pada tahun Hijriyah ini, yang erat kaitannya dengan miqat zamani amaliyah syar’iyah (batas waktu beribadah kepada Allah SWT) seperti awal puasa, shalat, mengeluarkan zakat, ibadah haji dan sebagainya.
      Ilmu hisab merupakan salah satu metode/sistem atau cara dalam penanggalan bulan dalam tahun Hijriyah yang berdasarkan peredaran bulan, sehingga lazim disebut metode atau sistem bulan (Qomar) atau Lynar system. Hisab dapat menunjang akan pelaksanaan Ru’yat, sehingga berdasarkan hisab, umpamanya pada malam 30 Ramadhan sudah ada bulan dengan ketinggian sekian derajat, dalam hal ini Ru’yat baru dapat dilaksanakan. Begitu pula Ru’yat dapat meluruskan akan keadaan hisab, jadi antara Hisab dengan Ru’yat erat sekali hubungannya, tidak dapat dipisahkan dalam arti tidak dapat melaksanakan Ru’yat sebelum ada keterangan hisab dan juga tidak akan ada keabsahan hisab tanpa Ru’yat. (Makalah, K.H. Aceng Zaelani Dahlan, 1994 : 4 ).



C. Sebab-Sebab Perbedaan dalam Penetapan Hasil Hisab
      Perbedaan hasil perhitungan, terutama pada stadium yang sulit ditoleransi secara ilmu pasti, merupakan permasalahan yang dihasilkan oleh perkembangan ilmu hisab itu sendiri. Sebagai ilustrasi, berikut ini dikemukakan hasil hisab ijtima’ akhir Ramadhan dan irtifa’ al-hilal awal Syawal 1413 H dari berbagai methode hisab :
     
a. Faktor Data
Dalam hal ini ada 2 bentuk :
1) Dalam data, misalnya data tentang lintang tempat (ardhul balad) dan bujur tempat (thulul balad) antara method pada nurul anwar dan New comb untuk Yogyakarta.
2) Kelengkapan unsur data yang dilibatkan dalam proses perhitungan sebagaimana perbedaan yang terjadi pada methode Hisab Haqiqi Bittaqrib dan methode Hisab Haqiqi Bittahqiqi.
Penetapan awal bulan dalam metode hidab Haqiqi bittaqrbib berdasarkan perhitungan saat terjadinya ijtima (konyugasi) bulan dan matahari serta perhitungan irtifa’ hilal (ketinggian bulan sabit di atas upuk) pada saat terbenam matahari di akhir bulan yang didasarkan peredaran rata-rata bulan, bumi dan matahari. Hanya saja, untuk irtifa hilalo metode ini belum memasukkan unsur azimut bulan, kemiringan upuk, parallaks (ikhtilaf almandhar) dan lain-lain ke dalam perhitungannya. Metode hisab ini belum dapat menentukan tempat kedudukan bulan. Sedangkan dalam metode hisab haqiqi bitahqiq sudah memasukkan unsur azimut bulan, lintang tempat, kerendahan ufuk refraksi, semidiameter bulan, parallaks dan lain-lain ke dalam proses perhitungan irtifa’ al-hilal.

b. Faktor Methode
Perbedaan dalam methode perhitungan bisa melahirkan produk perhitungan yang berbeda juga. Misalnya dalam methode perhitungan irtif’ al-hilal. Menurut methode Qawaidul Falakiyah, Sullamun Nayyirain, Tadzkiratul Ichwan, dan Fathul Rauf Al-Manan, irtifa’ hilal dihitung dengan cara membagi dua selisih waktu antara saat terjadi ijtima’ dan saat terbenam matahari pada hari yang bersangkutan. Dengan demikian asal ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka hilal pasti di atas ufuk. Tetapi menurut methode hisab yang tergolong Haqiqi Baitahqiqi untuk menghisab irtifa’ hilal harus mempertimbangkan posisi matahari, posisi bulan dan posisi tempat, jari-jari bulan, kerendahan ufuk, refraksi, parallaks dan sebagainya. Sehingga sekalipun ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari belum tentu pada hari itu hilal berada di atas ufuk.

c. Faktor Alat
      Untuk menyelesaikan perhitungan yang dilakukan, alat yang digunakan antara lain al-Rubu’ Mujayyab, daftar logaritma, kalkulator.
      Karena perbedaan alat yang digunakan, sedikit atau banyak akan menimbulkan hasil perhitungan hisab, karena :
> Kesulitan menempatkan benang (data) pada rubu’ itu
> Adanya perbulatan-perbulatan angka dalam daftar logaritma
> Penggunaan kalkulator lebih lengkap/mudah kalau dibandingkan dengan menggunakan rubu’ ataupun daftar logaritma seklipun antara kalkulator satu dengan kalkulator yang lainnya yang berbeda muatan (digit) akan memungkinkan terjadinya hasil perhitungan yang berbeda.

d. Faktor Hisab
      Hasib atau orang yang melakukan hisab adalah manusia juga. Berbagai kondisi dan situasi yang ada pada nasib yang bersangkutan akan mempengaruhi hasil kerjanya.

D. Kebijakan Departemen Agama Tentang Hisab dan Rukyat
      Diberlakukannya Undang-undang No. 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, menurut terjadinya perubahan nomenklatur wewenang di lingkungan Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji di mana Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang memiliki kewenangan menangani kegiatan hisab rukyat kini telah dialihkan ke dalam struktur baru Mahkama Agung RI. Sementara itu sambil menunggu struktur baru Departemen Agama, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji melimpahkan kewenangan penanganan kegiatan Hisab Rukyat tersebut kepada Direktorat Urusan Agama Islam dan paa tingkat Kantor Wilayah Departemen Agama ditangani oleh Bidang Urusan Agama Islam selanjutnya pada tingkat Kantor Departemen Agama Kabutpaten/Kota oleh Seksi Urusan Agama Islam sampai ke tingkat Kecamatan oleh Kantor Urusan Agmaa, sebagaimana ditegaskan dalam juklak tugas pengembangan kemitraan umat. Hisab rukyat dan sumpah keagamaan yang dikeluarkan oleh Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji.
      Berkaitan dengan penanganan kegiatan hisab rukyat tersebut Badan Hisab Rukyat (BHR) tingkat Propinsi Jawa Barat, sesuai fungsi dan tanggungjawabnya ikut membantu Pemerintah Daerah Jawa Barat, sesuai fungsi dan tanggung jawabnya baragama khusunya bagi kalangan kaum muslimin terutama yang berkaitan dengan penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan Dzul Hijjah, Jadwal waktu Shalat, Jadwal Imsakiah Ramadhan, penentuan arah Kiblat Masjid/Musholah maupun Kuburan dan hal-hal yang berkaitan dengan penetapan waktu-waktu ibadah umat Islam lainnya.
      Dengan demikian, Penanganan Kegiatan Hisab Rukyat dapat dijelaskan :
1. Pasca berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang tadinya berada di bawah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan penyelenggaraan Haji kini diahlikan dan masuk ke dalam struktur baru Mahkama Agung RI.
2. Sesuai Kebijakan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, kewenangan penanganan kegiatan Hisab Rukyat yang tadinya menjadi kewenangan Ditbinpera, untuk sementara diahlikan kepada Direktorat Urusan Agama Islam. 
3. Setelah ada struktur baru Departemen Agama (revisi KMA nomor 373 tahun 2002 tentang SOTK Kanwil Departemen Agama dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota), kewenangan penanganan kegiatan Hisab Rukyat berada pada Direktorat Urusan Agama Islam, Bidang Urusan Agama Islam dan Seksi Urusan Agama Islam (Urais), sementara itu Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Pengadilan Agama (PA) hanya berwenang dalam memeriksa dan meng-itsbat rukyat al-halil.  
4. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, hisab rukyat secara resmi ditangani oleh Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah Departemen Agama RI. 

URGENSI HISAB DAN RUKYAT AL-HILAL
B.     Aplikasi Hisab dan Rukyat Al-Hilal dalam Ibadah
1.     Kajian Fiqih
      Para ulama sepakat bahwa penetapan awal bulan yang didasarkan hasil rukyatul hilal dapat diterima untuk beribah, seperti penetapan awal puasa Ramadhan, Idul Fitri (Syawal), Idul Adha dsb. Sedangkan penetapan awal-akhir bulan dengan dasar hisab, mereka ikhtilaf tentang keabsahannya.
      Segolongan ulama mendapatkan hisab falak sebagai penentu waktu yang tepat untuk melaksanakan rukyatul hilal bil fi’li, mereka berpendapat bahwa dasar rukyatul hilal atau istikmal dalam penetapan Ramadhan, Syawal, Dzul Hijjah dan bulan-bulan yang lainnya adalah dasar yang diamalkan oleh Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan yang dipegang oleh seluruh ulama madzahibul arba’ah. Sedangkan dasar hisab diperselisihkan keabsahannya (periksa Kitab Al-faqh ‘ala Madzahibil Arba’ah Juz I hal. 548-553). Pemikiran mereka itu bersumber dari hadits Nabi :
“Berpuasalah kamu sekalian setelah melihat hilal (bulan) dan berbukalah (berlebaran) setelah melihat hilal. Jika mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari”. (HR. Bukhari). 
      Dilain pihak, ada juga para ulama yang berpendapat bahwa hasil hisab qoth’i dapat dijadikan dasar untuk penetapan batas waktu ibadah seperti untuk berpuasa, shalat dsb.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar