Iklan

ABISASTRA PHOTOGRAPHY The Art of Photography

Senin, 04 Januari 2010

Jika Rapor Kepsek Merah (Edisi 02 Januari 2010)

Jika Rapor Kepsek Merah 

Turunnya Peraturan Bupati Majalengka no. 22 Tahun 2008 yang ditetapkan pada tanggal 15 Desember 2008 lalu ternyata masih menyimpan kecemasan bagi sebagiaqn besar kepala sekolahdi Kabupaten Majalengka. Terlebih lagi setelah Ketua PGRI Majalengka H. Aman Nurkamal  mendesak pemerintah agar segera melaksanakan Perbup tersebut.

Kepada Eskul, waktu itu H. Rieswan menyebutkan  bahwa Perbup No. 22 tahu 2008 adalah salahsatu implementasi  pencapaian peningkatan mutu pendidikan.
'jika seorang kepala skolah menduduki jabatan yang sama lebih dari empat tahun, kecenderungannya melahirkan sikap apatis!" Ujar Rieswan Graha beberapa watu lalu.

Maka lahirnya Perbup No. 22/2008 bagi H. Rieswan adalah upaya menghilangkan sikap apatis kepala sekoah kepada sekolah yang dipimpinnya.Dalam pengamatannya, para kepala sekolah, diselimuti sikap apatis sehingga di sekolah tidak ada lagi nilai-nilai demokrasi "Para kepala sekolah akhirnya cenderung memaksakan kehendaknya !" Ujar H. Rieswan sambil menandatangani berkas-berkas di kantornya.

Dengan adanya Perbup No. 22/2008 tersebut menurut Kadisdik, para kepala sekolah akan termotivasi untuk lebih meningkatkan kinerja dengan harapan bisa masuk ke periode ke-2. "Proses penetapan seorang kepala sekolah bisa melanjutkan ke periode ke-2 adalah dengan cara setiap tahun pada periode pertama dilakukan evaluasi kinerja yang hasilnya akan dibuktikan melalui rapor kepala sekolah. Jumlahnya ada empat !" Ujar H. Rieswan terperinci.

Menurut pria asal Sumedang tersebut, jika nilai akumulatif baik maka akan bisa masuk ke periode II, tapi jika nilai raport cukup maka kepala sekolah harus kembali menjadi guru biasa. Menurutnya, dalam proses penilaian sedang disusun parameter  dan pihaknya sampai saat ini sedang menyusun tim penilai yang terdiri atas unsur Disdik, dewan pendidikan, komite sekolah, masyarakat yang dianggap peduli pendidikan, dan insan pers.

Sementara itu, pengamat pendidikan Majalengka Drs. Atta Suharyat,M.Pd. memandang perlu adanya tim evaluasi kinerja para kepala sekolah tersebut dengan alasan bahwa kinerja kepala sekolah adalah merupakan bagian penting dari kinerja sekolah. Maksudnya adalah nilai kinerja sekolah tidak terlepas dari penilaian kinerja kepala sekolah. "Saya harap para kepala sekolah jangan neko-neko. Bekerja lah dengan baik !" Ujar Atta Suharyat yang juga mantan kepala sekolah di beberapa sekolah negeri ini.

Atta menyebutkan bahwa kepala sekolah yang sebenarnya tidak mampu bekerja agar tidak berpura-pura mampu seraya ia menyebutkan agar Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka sebaiknya melaksanakan penataran calon kepala sekolah, "Mereka harus digodok dulu!" Ujar pemilik Pandawa Asih ini kepada Eskul.

Masalah kinerja kepala sekolah memang sangat krusial mengingat di Kabupaten Majalengka sebagian besar kepala sekolah adalah orang-orang lama. Sementara guru-guru potensial yang sebenarnya punya peluang dan keinginan untuk menjadi kepala sekolah seperti terganjal oleh aturan yang dianggap kurang adil oleh banyak guru.

Aturan yang berlaku sekarang ini, setiap sekolah hany diberi kuota 1 orang calon kepala sekolah atas rekomendasi kepala sekolah sebagai atasannya. Menurut, H. Dede Suparman, M.Pd. aturan tersebut sebenarnya sudah tepat sebab kalau tidak dibatasi nantinya akan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.

Dede Suparman beralasan bahwa yang tahu kinerja guru itu adalah kepala sekolah. jadi menurutnya tidak baik jika setiap guru di sekolah serentak mencalonkan menjadi kepala sekolah dan ikut testing dalam waktu yang bersamaan.
"Jadi calon kepala sekolah itu ada aturan dan standardisasinya serta harus diusulkan oleh atasannya !" Ujar Dede Suparman ketika ditemui di SMKN 1 Kadipaten beberap waktu lalu."Kalau ikut testing semua akan mengganggu kinerja atas proses pembelajaran !" Tambahnya. Meskipun begitu setiap sekolah berhak menilai kinerja anak buah (guru) "Saya lebih setuju diusulkan oleh kepala sekolah untuk diajukan !" kata Dede Suparman di ruang kerjanya.

Akan tetapi pendapat H. Dede Suparman kurang disepakati oleh kepala sekolah lainnya. Oma Rukmanta,S.Pd. (SMPN 6 Majalengka) menyebutkan untuk pencalonan kepala sekolah seharusnya dibuka lebar-lebar tetapi ada syarat-syarat tertentu. "Minimal usia calon kepala sekolah itu 50 tahun karena guru tersebut pengalamannya akan lebih banyak dari guru-guru muda !" Ujar Oma yang tidak lama lagi pensiun ini.
Menurut Oma Rukmanta, guru yang sudah matang usianya akan memiliki tingkat pengendalian emosi yang baik sehingga ketika ditugaskan menjadi seorang kepala sekolah secara mental sudah siap. "Saya termasuk orang yang setuju peraturan itu diubah. Guru yang ikut testing diusahakan sebanyak-banyaknya !" Ujar Oma Rukmanta semangat.

Dengan demikian, menurut pria asal Sumedang ini, yang baik bisa diteruskan, yang kira-kira tidak bisa dipertanggungjawabkan jangan diteruskan, tinggal mengangkat kepala sekolah baru yang secara mental sudah siap. Pandangan Oma Rukmanta tersebut sebenarnya sesuai dengan unek-unek para guru yang punya potensi besar menjadi kepala sekolah dan sudah matang secara mentalitas. Aan Hartawan,MH (SMANSA) menyebutkan "Setiap guru seharusnya diberi kesempatan untuk testing kepala sekolah " Ujarnya. Aan Hartawan berdalih saat ini setiap sekolah hanya bisa mengikutsertakan satu orang guru saja.

Menurut Momon Lentuk,M.Pd. "Harus ada kemauan dari pihak pemerintah untuk membuat aturan mengenai hal tersebut !" Katanya Momon. Sementara Cucu Rukmadi,S.Pd. berpendapat bahwa semua guru ikut testing kepala sekolah tidak jadi masalah. Di situ akan terbukti kualitas guru-guru layak tampil sebagai kepala sekolah. "Kalau hanya mengandalkan rekomendasi atasan saja, yang selalu diusulkan itu-itu sa!" Ujar Cucu seraya menunduk lesu. Maksudnya ada di antaranya beberapa guru calon kepala sekolah yang diusulkanm tapi tidak lulus seleksi atau hanya mendapatkan rangking papa tengah lalu pada seleksi berikutnya direkomendasikan lagi oleh atasannya. Tampaknya hal itulah yang membuat guru-guru potensial lainnya merasa iri atau "kabita".

Siapapun guru yang ingin jadi kepala sekolah adalah hal yang wajar. Sebab kesejatian seorang pendidik di manapun terjadi ketika ia mendapatkan tempat tertinggi dalam karirnya. maka tak heran ada calon kepala sekolah yang rela merogoh kocek hingga Rp. 30 juta hanya untuk mendapatkan jabatan "kepsek". Seperti yang diakui oleh seorang guru yang enggan disebut namanya. Namun ia menyebutkan ia tidak tertarik lagi menjadi seorang kepsek karena masa jabatannya kini sudah dibatasi oleh Perbup no.22 tahun 2008. Saat ini banyak yang melakukan estimasi untung ruginya secara materil. Mereka berpendapat kalau hanya  empat tahun saja, kecil kemungkinan untuk bisa "break even point".

Lantas siapa sebenarnya yang memungut beban biaya kiepada guru calon kepala sekolahg, sehingga jabatan kepala sekolah seolah diperjualbelikan. Siapa yang menjualnya ?

Urusan jual beli jabatan memang sulit diungkap karena yang membeli jabatan akan merasa malu jika ketahuan dan yang menjual pun  pasti akan mengunci rapat tentang transaksi tersebut. hanya yang jelas menurut beberapa sumber Eskul, transaksi jual beli jabatan memang terjadi di manapun.

Problematika kepala sekolahg tampaknya tidak lepas dari perhatian tokoh pendidikan Majalengka Atta Suharyat,M.Pd. Ia menyebutkan bahwa penentuan kepala sekolah sebenarnya dilakukanpimpinan sekolah"Kepala sekolah sebagai atasan punya kriteria mengajukan calon kepala sekolah yang diangap layak sesuai dengan persyaratan !" ujar Atta ketika dikonfirmasi melalui pesawat seluler.

Menurut Atta, guru yang tidak mau menjadi kepala sekolah hanya karena alasan jabatan kepala sekolah sekarang dibatasi hanya empat tahun saja maka guru tersebut dianggapnya  sebagai PNS yang tidak taat pada aturan yang berlaku.
"Jika benar-benar ada maka yang begitu mah bukan PNS yang baik !" Ujar Atta. Pemilik Pandawa Asih ini mengharapkan adanya peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang masalah pendidikan di antaranya tentang aturan main kepala sekolah yang berkaitan dengan Perbup no. 22 Tahun 2008.
Atta juga menghimabu agar seluruh guru di Kabupaten Majalengka bisa bekerja dengan profesional dan mampu menjadi abdi negara yang baik. "Guru itu harus bekerja dengan baik. Jangan neko-neko apalagi tidak mau jadi kepala sekolah hanya karena masa jabatan dibatasi!" Ujar Atta seraya berharap para guru tidak terpengaruh oleh kebijakan Perbup no. 22 tahun 2008. Karena bagaimanapun Perbup No. 22 Tahun 2008 tersebut telah membawa dampak bagi guru yaitu kurangnya semangat untuk menjadi kepala sekolah.

Selama ini memang ada beberapa guru yang telah beberapa kali ikut testing kepala sekolah namun kurang beruntung dalam hasil seleksi. Rangking atau peringkat didapatkan namun formasi belum mencukupi. Seperti halnya yang dialami oleh beberapa guru potensial di Majalengka yang pada tahun lalu ikut testing kepala sekolah di LPMP Bandung, meskipun rangkin diraih namun formasi terbatas tidak membuatnya lolos. Sedih memang tapi itulah realita sehingga rapor merah kepala sekolah dianggap langkah tepat untuk menggulingkan kursi kepala sekolah yang sudah terlalu lama bekerja.

Menganai mekanisme pemilihan kepala sekolah, Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan Kota Majalengka Eno Sunartana,S.Pd.,MM menyebutkan bahwa guru-guru tidak semuanya bisa diajukan sebagai  calon kepala sekolah mengingat tidak semua guru memiliki jiwa kepemimpinan."Yang dibutuhkan oleh seorang kepala sekolah itu adalah masalah kepemimpinan jadi saya lebih setuju mekanisme pemilihan kepala sekolah dilakukan seperti yang berlaku selama ini !" Ujar Eno ketika dihubungi langsung di ruang dinasnya. Eno menjelaskan bahwa para guru dileleksi terlebih dahulu di tingkat kecamatan. "Aturannya kalau formasi yang dibutuhkan untuk tiap kecamatan itu 4 maka pihak UPTD wajib mengajukan 6 guru calon kepsek yang telah diseleksi terlebh dahulu, baru bisa ikut testing di LPMP !" Ujar Eno serius.

Sementara itu, ia membantah keras adanya praktik jual beli jabatan kepala sekolah yang selama ini ditengarai terjadi di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka. "Ya kalau tanda terima kasih mah itu wajar, namanya juga manusia !" Ujarnya seraya merebahkan badannya di kursi. Pria yang difavoritkan  warga Leuwimunding menjadi pejabat penting Disdik tersebut menyebutkan agar hal tersebut tidak perlu dibahas karena selama ini praktik jual beli jabatan tidak terjadi. Yang pasti, menurutmya, siapapun guru punya peluang menjadi kepala sekolah asal sudah memenuhi ketentuan Perbup No. 22/2008 tentang Pedoman Pengangkatan Kepala  Sekolah di Lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka. Agar lebih jelasnya mari kita simak opini Nanang Rijono,M.Pd. tentang hal itu. berikut ini.


***


PELAKSANAAN sertifikasi guru lebih dipermudah. Hal ini diatur dalam Peraturan Mendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Berbeda dengan pedoman pelaksanaan sertifikasi guru tahun 2006, sertifikasi tahun 2007 hanya melalui penilaian terhadap dokumen portofolio yang disusun guru. Sebelumnya, sertifikasi (akan) dilaksanakan melalui penilaian diri sendiri dan portofolio, penilaian atasan, tes tertulis dan tes praktik mengajar, serta kolokium (wawancara pencocokan jawaban peserta). Kini guru cukup mengumpulkan dokumen portofolio yang terdiri atas 10 (sepuluh) komponen dan dikelompokkan menjadi tiga kelompok komponen: A, B dan C.

Kelompok komponen A terdiri atas kualifikasi akademik (pemilikan ijazah); pengalaman mengajar (lama masa kerja); dan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran (RPP dan praktik mengajar) bagi guru mata pelajaran, atau rencana program pelayanan bimbingan konseling (PPBK) dan pelaksanaan PPBK bagi konselor atau petugas BK. Kelompok A ini memiliki skor maksimal 845. Guru harus memperoleh skor minimal 300.


Kelompok komponen B meliputi pendidikan dan pelatihan (keikutsertaan guru dalam berbagai diklat, penataran, dll.); penilaian oleh atasan/pengawas (peer appraisal) terhadap sikap dan kepribadian guru; prestasi akademik (keikutsertaan guru dalam berbagai lomba, pembimbingan guru terhadap sejawat dan siswa); dan karya pengembangan profesi (karya guru dalam bentuk buku, diktat, modul, artikel, penelitian, pembuatan media, dll.). Skor maksimal kelompok B adalah 495. Guru harus mengumpulkan skor minimal 200.

Kelompok komponen C adalah keikutsertaan guru dalam forum ilmiah (sebagai pemakalah atau peserta dalam diskusi, seminar, panel, dll.); pengalaman berorganisasi (sebagai pengurus organisasi kependidikan atau sosial), tugas tambahan, dan mengajar di daerah  terpencil; dan penghargaan di bidang pendidikan. Skor maksimal kelompok C adalah 160. Guru harus mengumpulkan skor maksimal 100, tetapi tidak boleh kosong.

Untuk bisa lulus sertifikasi, guru harus mengumpulkan nilai skor minimal 850 atau sekitar 76% dari skor total maksimal 1.500.



KEPSEK TIDAK MENGAJAR

Selama ini guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah tidak “suka” mengajar lagi. Mungkin kesibukan (atau keasyikan?) dalam melaksanakan tugas tambahan sangat luar biasa, sehingga menyita waktu, tenaga dan pikiran. Akhirnya guru tidak melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan keahliannya – seperti yang dulu dilaksanakan sebelum menjabat sebagai kepala sekolah. Padahal berdasarkan peraturan yang ada, kepala sekolah masih diwajibkan mengajar minimal 6 jam pelajaran seminggu. Namun, karena berbagai alasan, maka umumnya kepala sekolah mengganti 6 jam mengajar ini dengan melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling (BK). Penggantian kegiatan mengajar menjadi BK ini memang diperkenankan juga oleh peraturan yang ada – sehingga dianggap sebagai “kebiasaan umum”, bahwa guru yang menjadi kepala sekolah tidak perlu mengajar, cukup melaksanakan tugas ke-BK-an.

Sebelum ada sertifikasi guru, kebiasaan kepsek tidak mengajar ini tidak menjadi masalah. Namun sekarang, kebiasaan itu berpotensi menimbulkan masalah. Mengapa? Setidaknya ada tiga masalah yang bakal dihadapi oleh kepala sekolah yang tidak mengajar tersebut.



PENILAIAN DALAM SERTIFIKASI

Dalam sertifikasi guru, ada ketentuan-ketentuan dalam penilaian yang telah ditetapkan – yang dikenal dengan rubrik penilaian. Ijazah sarjana S1 akan diberi skor 150; S2 dan S3 masing-masing dengan skor 175 dan 200. Namun skor ini adalah skor maksimal. Untuk mendapatkan skor maksimal masih ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi, antara lain kesesuaian dengan mata pelajaran pada jenjang sekolah tempat guru mengajar. Misalkan seorang kepala sekolah yang ingin disertifikasi dalam bidang Bimbingan dan Konseling berijazah S1 Pendidikan Bahasa Inggris (+ Akta IV). Manakala masih mengajar bahasa Inggris di SMP atau SMA, ijazahnya akan dihargai 150 (nilai maksimal). Namun karena dia tidak mengajar, dan melaksanakan tugas BK, ijazahnya hanya dihargai 120 saja. Ada selisih 30. Hal ini disebabkan kepsek tersebut memiliki ijazah (kependidikan bahasa Inggris) yang tidak sesuai dengan tugasnya sekarang (sebagai petugas BK).

Seandainya Kepsek tersebut memiliki ijazah Magister Manajemen (MM), maka ijazah S2 ini tidak bisa diberi skor maksimal 175, karena ijazah tersebut tidak sesuai dengan tugas sekarang sebagai petugas BK. Skor ijazah S2 (MM) ini hanya 130. Ada selisih 45. Sehingga total skor ijazah yang diperoleh hanya 250, bukan 325. Artinya kepsek kehilangan skor 30 (jika hanya S1) atau 75 (jika S1 dan S2).

Sebagai konsekuensi memilih bidang BK untuk sertifikasi bagi dirinya, kepala sekolah harus membuat rencana PPBK dan melaksanakan (membuat laporan pelaksanaan) PPBK tersebut. Apakah kepala sekolah selama ini membuat rencana PPBK yang terdiri atas lima bidang : Pendidikan/Belajar; Karier; Pribadi; Sosial; dan Akhlak Mulia/Budi Pekerti termasuk program semester dan program tahunan BK? Apakah kepsek membuat laporan pelaksanaan BK secara teratur – sebagaimana dituntut kepada konselor? Wallahu’alam! Namun, maaf, umumnya tidak. Karena pilihan melaksanakan 6 jam mengajar untuk kegiatan BK umumnya adalah karena kegiatan BK ini hanya “sambilan”; dipilih untuk sekedar “menggugurkan kewajiban 6 jam mengajar”.

Jika kepala sekolah ternyata tidak bisa menunjukkan bukti portofolio berupa 4 (empat) buah rencana PPBK dan laporan-laporan pelaksanaan PPBK – atau malahan menyerahkan 5 (lima) buah RPP dan nilai praktik mengajar dari pengawas, maka skor nilai yang dapat diperoleh guru yang kepala sekolah ini adalah NOL. Bagaimana tidak? Kepsek sebagai petugas BK tidak bisa mengumpulkan dokumen portofolio rencana PPKB dan Laporan PPBK – atau malahan yang dikumpulkan adalah RPP dan nilai pelaksanaan mengajar. Wajar kalau diberi nilai nol. Bukan 160 sebagai skor maksimal. Disini kepsek kehilangan lagi 160 skor.

Masalah kehilangan skor ini akan dialami lagi oleh kepsek berkenaan dengan skor dari karya pengembangan profesi. Dimisalkan kepala sekolah ini rajin menulis buku teks, diktat/modul, atau mengadakan penelitian (PTK). Karena basic guru adalah Pendidikan Bahasa Inggris,  maka karya tulisnya berkaitan dengan Bahasa Inggris – bukan BK. Akibatnya, karya tulis ini menjadi “tidak relevan” dengan tugas sekarang sebagai Petugas BK, sehingga skor karya tulis ini diberi nilai sesuai dengan skor karya tidak relevan. Rugi ‘kan?



KEMBALILAH MENGAJAR

Saya menganjurkan rekan-rekan kepala sekolah kembali ke laptop, kembali ke habitatnya, kembali melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan jenjang kelas dan mata pelajarannya. Hal ini dimaksudkan agar guru yang kepsek itu bisa mulus mengikuti sertifikasi guru, karena tidak mengalami pengurangan nilai ijazah, karya tulis, atau RPP dan praktik (pelaksanaan) pembelajaran. Sehingga bisa lulus sertifikasi.

Sesungguhnya apa bedanya 6 jam mengajar dengan “6 jam BK”? Tidak ada perbedaan dari sisi beban kerja. Namun konsekuensi memilih BK sangat berat, dan berpotensi mengurangi nilai skor ijazah, skor karya tulis, dan bukan tidak mungkin skor rencana dan pelaksanaan PPBK. Di samping itu, seandainya kepala sekolah bisa lulus sertifikasi BK, maka kelak dia tidak bisa lagi mengajarkan mata pelajaran sesuai dengan ijazahnya (yang Bahasa Inggris itu). Dia harus menjadi petugas BK seumur hidup – sesuai dengan sertifikat pendidik yang dimilikinya. Atau mengikuti sertifikasi ulang dalam matapelajaran Bahasa Inggris. Mengikuti satu kali sertifikasi saja repotnya minta ampun, apalagi dua kali!

Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan para kepala yang akan mengikuti sertifikasi guru pada tahun 2008 dan seterusnya. Bagi kepala sekolah yang sekarang sudah “terlanjur” memilih BK sebagai pilihannya dalam sertifikasi, mudah-mudahan skor Anda masih bisa mencapai nilai minimal 850 – karena Anda mengumpulkan dokumen rencana PPBK dan Laporan PPBK; bukan mengumpulkan RPP dan nilai pelaksanaan pembelajaran. Mudah-mudahan bisa mulus dan berhasil lulus dalam sertifikasi. Kalau tidak lulus? Sebagai kata iklan, kegagalan = enjoy yang tertunda. Nah !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar